Part 6 Sahabat adalah Berkat

181 29 7
                                    


Ekskul biola dilaksanakan setiap hari Sabtu pagi di sekolah kami, berbarengan dengan ekskul yang lain. Hari ini kebetulan Melia dijemput supir Papanya dan berniat mampir ke rumahku untuk mengambil buku Bahasa Inggrisnya yang tidak sengaja terbawa. Jadi Om Jati tak perlu menjemput dengan si Vespa butut.


Melia hanya mampir sebentar, dia bahkan hanya menunggu di pintu pagar sementara aku mengambilkan bukunya. Aku tidak jadi masuk ke rumah ketika menemukan keluarga kecilku sedang piknik di teras depan.

Yak, betul! Mereka menggelar tikar lebar, dan meletakkan beberapa bantal sofa. Ditya dan Om Jati sedang asyik mengejar belalang yang bersembunyi di antara rerumputan yang memenuhi sebagian besar teras. Sebuah alat panggang kecil berbahan bakar briket batu bara mengepulkan asap di dekat mereka.

"Kalian lagi ngapain?" tanyaku dengan tidak antusias.

Untungnya hari sudah menjelang sore sehingga matahari tidak terlalu bersinar lagi meski udara tetap terasa hangat. Aku meletakkan kotak biolaku sembarangan di samping bantal dan duduk di sebelah Mama yang sedang asyik merapikan deretan roti tawar yang sepertinya baru selesai dibakar, di sebuah piring saji dari kaleng. Tangannya asyik mengoleskan mentega dan meises yang langsung meleleh di roti yang panas.

"Hai, Sayang! Sini, ikutan piknik!" seru Mama dengan wajah ceria. Om Jati menoleh sejenak kepadaku kemudian sibuk lagi membantu Ditya menangkap seekor belalang yang kemudian dia masukkan ke dalam sebuah toples bening yang terbuat dari plastik.

"Lihat ini, Ditya! Ini yang namanya belalang. Grasshopper. Dia pandai sekali melompat. Kamu lihat kaki belakangnya yang lebih panjang dari kaki depan? Itu membantunya melompat lebih tinggi."

Ditya menirukan cara duduk belalang itu, dengan menekuk kakinya. Dia mulai melompat-lompat di rumput, mencoba menirukan gaya belalang. So silly! Mama dan Om Jati tak berhenti tertawa melihat tingkahnya.

"Kamu mau roti sandwich, Ca?" Mama tiba-tiba menyodorkan piring roti yang dirapikannya tadi.

"Roti tawar aja bilang roti sandwich!" protesku dengan nada mencela, tapi tak menolak piring yang disodorkan Mama yang spontan tertawa.

"Yah, 'kan biar keren ..." ujarnya sambil menjulurkan lidah.

"Itu tadi Melia?" tanya Mama sambil memperhatikanku mengunyah roti sandwich isi meises buatannya.

"Iya, Ma. Cuma mau ambil buku, makanya hanya mampir sebentar. Dia mau nemenin Mamanya ke Mall katanya."

"Apakah kalian bersahabat?"

"Ya, bisa dibilang begitu, kebetulan sebangku. Dan orangnya rame. Jadi seru aja ngobrol sama dia, Ma!"

Om Jati yang kemudian duduk di samping Mama ikut mendengarkan obrolan kami. "Kita juga dulu duduknya dekatan ya, Mon?" tanyanya kepada Mama sambil tersenyum. Mama mengangguk. "Tapi tidak pernah sebangku, Jat."

"Ya, betul sih. Tapi seingatku, aku selalu duduk di belakangmu, ya?"

"Selalu di belakangku, ya, Jat? Masa sih?"

"Iyalah! Aku ingat kamu akan langsung menoleh kepadaku setiap kali ada pelajaran seni rupa, iya kan?"

"Ya bukan karena ada pelajaran seni aja, sih! Aku pasti noleh karena kesal pita rambutku kau tarik sampai lepas!"

Aku mengernyit. "Ngapain Mama menoleh ke belakang kalau ada pelajaran seni rupa?" tanyaku heran. Mereka berdua malah tertawa. Heran!

"Dulu, eh! Sampai sekarang sih, Mama itu nggak pinter melukis atau mengerjakan tugas prakarya apa pun, Ca! Kalau pun dikerjakan pasti nilainya nggak jauh-jauh dari D atau C, alias Cukup. Belum pernah B apalagi A."

Dear Ayah (Novel Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang