5. Pekerjaan.

16 0 0
                                    

5. Pekerjaan.

Scene terakhir dalam cerita, scene yang akan diingat semua orang yang menontonnya, scene dimana Dion memeluk Rasyi dan mengungkapkan perasaannya, mereka menjadi sepasang penjahat sejati dalam film yang Sasa tulis sendiri. Dalam realita, scene itu juga memiliki cerita, Dion dan Rasyi alias Dion dan Sasa saling bepelukan sebagai ungkapan terima kasih karena sudah menjadi rekan kerja yang baik selama sebulan terakhir.

Sedih, jatuh, tertawa, bagun, tangis, dan lari sesuai naskah sudah mereka lewati. Syuting boleh saja berakhir, tapi, promo film, meet and greet serta visit teater masih menunggu. Pekerjaannya belum selesai, chemistry-nya juga harus terus dijaga hingga project ini benar-benar selesai. Walau begitu, hatinya senang, bebanya berkurang, liburan akan datang, mungkin. Senyumnya mengembang sangat hangat.

"Sa, selesai ini langsung pulang, ya!"

Sasa ingin ikut larut dalam pesta untuk merayakan selesainya pengambilan gambar, walau sebentar. Hangat senyumnya meluntur, ketika harus mengikuti semua apa yang dikatakan manager-nya, Aci. Bahkan ia tidak tau mau dibawa kemana. Ini bukan arah apartermen atau kantor agency. Tiap ditanya pun, mau dibawa kemana Sasa pergi, Aci hanya menjawab. "Pulang."

Rumah minimalis bertingkat dua. Mobil yang Sasa cicil sejak karirnya mulai naik terparkir elok di garasi. Halamannya masih terdapat gundukan pasir dan beberapa alat bagunan lainnya, menandakan bahwa rumah ini masih dalam proses pengerjaan. Kakinya memasuki ruang tamu, masih kosong, sofa yang ia pesan belum datang, melangkah lagi menuju ruang yang dia desain sendiri, ruangan yang luas, ruang keluarga yang menyatu dengan dapur. Sasa melebarkan senyuman, kitchen set yang ia inginkan sudah terpasang.

"Punya rumah kenapa nggak pulang?"

Senyum Sasa seketika memudar mendengar pertanyaan yang keluar dari Nenek-nya.

"Ma, kamar Sasa masih berantakan, belum bisa dihuni."

"Memangnya nggak bisa tidur di kamar yang lain dulu?" walau ucapan yang keluar dari mulut Nenek-nya terus pedas, Sasa tetap salim dengan santun. "Nggak baik perempuan tinggal sendirian."

"Sasa 'kan tinggal sama Aci." Sasa membela.

"Kalian berdua perempuan, nggak tau juga sudah berapa laki-laki yang sudah masuk seenaknya ke tempat tinggal kalian."

"Maaf, Nek. Sasa sama saya nggak pernah begitu." Aci buka suara.

Sasa tertunduk di depan kulkas yang terbuka, memilih sesuatu yang bisa ia masukan ke mulut. Telinga dan hatinya mulai memanas. Nenek-nya selalu seperti itu, memojokan kesuksesan Sasa. Suatu hari Sasa pernah menangis karena Nenek-nya yang menginginkan Sasa segera menikah dengan kata-kata yang sangat tidak pantas. Tapi, Sasa berusaha keras untuk tidak memasukan semua itu ke dalam hatinya dan memaklumi Nenek-nya yang memiliki pemikiran kolot.

"Makanya kalau jadi perempuan jangan terlalu sukses. Hararese erek nikah oge." Nenek kembali menuju kamarnya dan tidak ada tanda-tanda lagi akan keluar kamar setelah hening beberapa menit.

Mamanya Sasa duduk di sofa, menatap anak pertamanya yang sedang makan apel sambil melamun, Aci juga tampak memijat keningnya, pusing harus berhadapan dengan Nenek. Kalau diam saja pasti Nenek akan terus memojokan Sasa, tapi kalau disahuti takut durhaka, serba salah. Ini bukan kali pertamanya membela Sasa. Sering.

Aci membawa Sasa pulang pun atas permintaan Nenek. Awalnya, Aci tidak ingin mengabulkan permintaan beliau, karena ia harus menjaga mood Sasa yang mudah berubah. Terlebih lagi, masih banyak pekerjaan menunggunya, Aci tidak ingin semuanya kacau. Tapi akhirnya Aci menuruti pemintaan Nenek yang meminta Sasa pulang karena Nenek berjanji tidak akan berkata apapun, nyatanya tidak. Nenek sukses membuat wajah Sasa pias.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

How To Meet You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang