𝑻𝒉𝒆 𝑩𝒊𝒅

298 41 0
                                    

Haahh

Helaan napas lelah Mark, memecah sunyi di danau sore itu. Selama tiga hari penuh, Ia disibukkan dengan permintaan tolong; Mengusir para pencuri yang menyebar di sekitar perbatasan. Menyebabkan, beberapa bahan pangan tidak dapat terdistribusi dengan baik. Bukan tugas yang berat untuk menyingkirkan semut-semut itu. Namun, karena mereka semut  itulah yang cukup merepotkan. Mereka gesit juga bergerombol. 


Terlalu nyaman dengan keheningan dan angin yang berhembus dengan tenang, Mark nyaris jatuh tertidur jika saja suara riak air tidak mengganggunya. Sesaat setelah matanya terbuka, Ia dapat melihat sosok yang cukup mungil tersungkur di pinggir danau. Sosok itu sedang berusaha beranjak, sebelum akhirnya kembali oleng dan siap untuk kembali menjatuhkan dirinya.


Ya, setidaknya itu tidak terjadi karena Mark dengan sigap berlari-mendekat guna menahan bobot tubuh si mungil. 


"Tak apa?" Mark berusaha meminta atensi si mungil yang ada di hadapannya. Namun, tidak ada respons. Mark membalik paksa si mungil dan bersiap untuk marah, karena merasa kesal di acuhkan. Tapi, semua kata marah yang sudah diujung lidah kembali Ia telan. Melihat sosok mungil di hadapannya, hanya terdiam dengan raut ketakutan, tubuh bergetar juga mata yang mulai memerah dan berair di pelupuknya. 


Menghela napas lagi, Mark berusaha mengatur ekspresi wajahnya. Kembali mengulang pertanyaannya. Lagi, sosok mungil ini hanya diam tidak merespons. Bahkan, tatapan lurus itu rasanya tidak menatap balik pada manik kelam milik Mark. 


Belum juga Mark mengangkat tangan kanannya untuk melambai-meminta atensi-si mungil sudah lebih dulu melepaskan diri, dan berbalik. Berjalan tertatih meninggalkan Mark dengan pandangan tidak percaya. Maksudnya, bagaimana bisa si mungil ini belum membayar gerakan tubuhnya tadi, tapi sudah berani meninggalkannya. 


Saat Mark akan beranjak, panggilan di belakangnya mengalihkan atensinya. 


Renjun, sosok mungil lainnya tergopoh-gopoh mendekati. "Kau tau? Taeyong hyung baru saja tiba. Bersama satu lelaki lainnya."


Tanpa menunggu, detik itu juga Mark membawa dirinya kehadapan Taeyong. Mark tidak bisa memungkiri bahwa Ia merindukan satu-satunya anggota keluarganya itu.  



✧・゚: *✧・゚:*✧・゚: *✧




"Jadi dia?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jadi dia?"


"MARK! KAU TAHU? AKU SANGAT MERINDUKANMU! MAAFKAN HYUNGMU INI, BARU BISA KEMBALI SETELAH SEKIAN LAMA! APA KAU BAIK? KAU MERINDUKAN KU? KAU MAKAN DENGAN BAIK, TIDAK? SUDAH BERTEMU DENGAN PENAWARMU? LALU BAGAIMA-" Rentetan pertanyaan yang diajukan dengan teriakan itu terhenti, kala sepasang tangan lelaki lain di sana, bertengger manis di pinggang Taeyong. Tersipu, lantas menundukkan kepala. Terlihat, bahwa Taeyong belum begitu terbiasa dengan skinship yang diberikan untuknya. 


"Jadi? Kau menjadi penawarnya, Hyung?" Mark bertanya, dengan tatapan mata lurus pada sosok laki-laki di hadapannya. 


"Aku Jaehyun." Hanya sesingkat itu, respon yang lelaki bernama Jaehyun berikan pada Mark. Tidak peduli bagaimana tatapan mata Mark, sedari awal memandangnya tidak suka.  



✧・゚: *✧・゚:*✧・゚: *✧



Kini, ketiganya sedang duduk manis di ruang tengah kediaman Mark-rumah yang ditinggalkan oleh kedua orang tua Mark-dengan posisi Taeyong berdampingan Jaehyun di hadapan Mark. 


"Jadi, sampai hari ini kau masih belum bertemu dengan penawarmu, Mark? "


Pertanyaan Taeyong dan tentunya beberapa orang yang dikenalnya, mengambang bebas di pikiran Mark. Sejenak, Ia menyesali tentang keputusannya yang terlalu berpuas diri dengan segala kelebihan-kekuatan-yang dimilikinya. Tanpa mau dengan rendah hati, ikut bersusah payah seperti orang-orang di sekitarnya, yang berusaha menemukan penawar mereka. 


Bukan tanpa alasan para penawar itu perlu ditemukan. Mereka, mampu menjadi penyeimbang disuatu hari nanti, ketika alam meminta bayaran atas segala kekuatan yang sudah diberikan. Tapi, bukankah sejak Mark lahir, Ia memang sudah ditakdirkan untuk menjadi putra alam? Bahkan para tetua pun sudah memprediksi kelahirannya. Keistimewaannya yang tanpa perlu upaya, karena alam yang dengan sukarela membiarkan Ia mengendalikannya. Lantas? Apa guna para penawar baginya? Tentu tidak ada. 


 Tapi, layangan pertanyaan yang sama berulang kali, juga melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya seakan memiliki hidup yang jauh lebih membahagiakan, perlahan membuat rasa tinggi hati itu terkikis. Disadari atau tidak, Mark pernah memikirkan bagaimana harinya akan berjalan, kala sosok penawarnya itu sudah Ia temukan dan terikat dengannya. 


Tidak. 


Tentu itu bukan hal yang bagus. Hanya akan merepotkan. Umumnya mereka yang terlahir menjadi para penawar, memiliki tubuh yang lemah. Tidak punya hal apapun dalam diri mereka yang bisa diandalkan. Bahkan, merekalah yang menjadikan kekuatan yang dimiliki melemah. Meski kecil, juga berkemungkinan tidak berfungsi sama sekali. Jadi? Sudah jelas. Logika Mark paling benar. Ia tidak akan pernah butuh penawarnya itu.  



𝐓𝐡𝐞 𝐁𝐢𝐝𝐝𝐞𝐫 | MarkHyuck✔Where stories live. Discover now