PROLOG

155 23 10
                                    

Raina Adelsa. Seorang yang selalu menganggap waktunya terbuang sia-sia. Menjalani kehidupan dengan aturan dan tuntutan yang begitu payah. Jelas bukan kebengisan, namun mungkin caranya yang terlanjur salah.
Terasa ini semua memang jalannya yang harus dijalani dalam harinya.

Apapun itu sudah terbiasa dijalani, terbiasa dengan itu mungkin lebih baik. Dibanding menentang yang jatuhnya sama halnya. Terkadang pikiran pun berkontribusi memikirkan bagaimana dirinya? Satu hal yang gadis itu ingat. Apakah selamanya anak sulung hatinya sekuat baja? Raganya setangguh karang? Bahwa yang sebenarnya hatinya bahkan seperti kaca. Manusia biasa dan tak luput dari kesalahan.

Sedikitpun enggan melihat bagaimana kondisinya, hatinya-yang sudah lama terikat kuat oleh berbagai anggapan tentang hidupnya. Tak lagi jiwa dan hatinya diprioritaskan setelah menjadi sebutan anak sulung. Terikat oleh bayangan, pandangan masyarakat telah membelenggu dalam pikiran.

Semua itu yang mengharuskannya seperti ini. Menjadi jiwa yang tidak langgas dan stereotipe terhadap sulung telah meluas ke masyarakat. Hingga membuat sulung seperti menumpu sebuah beban.

Bukan. Bukannya semua itu beban tetapi entah semua begitu sulit jika terus-menerus akan terus terjadi.

"Kamu harus jadi contoh yang baik untuk adik kamu!" jelas mama dengan nyaring.

"Iya, Ma. pasti," ujarnya menenangkan.

Inilah Raina seorang anak sulung yang mengharuskan ini dan itu. Tak pernah ada rasa menyalahkan karena ini bukan pilihan, namun dipilihkan yang hanya sebuah titipan Tuhan.

Dia memang harus kuat. Tapi adakala dirinya yang terluka dan meratap. Semangat akan terus dijalani dan itu memang akan terus terjadi.

Salam sulung

-Raina Adelsa

Eldest (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang