Semesta sedang menitipkan duka

78 0 0
                                    

• Kepulangan •

Pemakaman itu berlangsung damai. Gundukan tanah yang dibaluri bunga-bunga cantik menjadi pemandangan yang utama di sana. Teduh langit seolah memberi izin kepada siapapun yang berada tujuh kaki di bawah langit itu untuk pulang. Membukakan pintu untuk datang ke dunia baru.

Baju-baju hitam telah berangsur kembali. Meninggalkan sisa keluarga yang sepertinya enggan untuk beranjak. Hening yang cukup panjang mengisi suasana, menatap tanah basah tersebut dengan perasaan tak menentu.

"Bun?"

Sosok perempuan yang dipanggil itu menoleh. Bertemu tatap dengan iris mata lain yang menatapnya penuh sayang. Luka itupun tersirat di matanya. Meski wajahnya dipenuhi senyum tulus, ia dapat melihat sosok ibunya terlukis di sana.

Arumi, sosok perempuan separuh baya itu berjongkok di samping keponakannya. "Pulang?"

Yang ditanya menggeleng sambil tersenyum. "Duluan."

Tak ada yang dapat Arumi lakukan. Setelah berbalas tatap dengan Jean -anaknya, yang ikut menghela napas, Arumi berdiri. Memeluk sebentar keponakannya sebelum berlalu. Meninggalkan sepi pada perempuan itu.

Kembali, hening itu tercipta.

Namun detik demi detik yang terlewatkan seolah mengubah janjinya pada diri sendiri. Embun, gadis malang yang ditinggalkan sendiri itu menatap nisan di depannya tanpa kedip. Meluncurkan banyak kristal air yang sejak semalam ditahannya. Matanya sempurna terbuka. Bekerja dengan cepat melepas bebannya. Pikirannya rancu, menangis dengan penuh sesak hingga napasnya tertahan di tenggorokan.

"Bu, Embun kangen. Padahal belum ada sehari, ya?" Gadis itu terkekeh pelan. Mengusap pipinya dengan punggung tangan. "Embun nggak tau harus makan apa hari ini. Rasanya nggak nafsu."

Semilir angin membawa sore itu bertambah gelap. Daun-daun yang datangnya dari pohon-pohon di ujung lapangan terbang seirama angin. Terjatuh beberapa kali di sisi Embun. Menandakan respons bagi perempuan itu sendiri.

"Kalo nggak ada Ibu, Embun nggak bisa makan telur orak-arik Ibu, dong? Nggak bisa minta bawain bekel roti selai nanas, dong? Nggak bisa minta nambahin nasi goreng di rantang kedua, dong?" Suaranya memelan sejenak. Bibirnya ia gigit kuat-kuat, menahan sesak yang kian melanda dirinya. "Embun harus latihan badminton, Bu. Jadi butuh dua rantang."

Tanah itu tak bergerak meski Embun berdoa dengan frustrasi kepada Tuhan-Nya untuk mengembalikan hidupnya, Ibunya.

Embun sudah merasakan kehilangan sejak kelahirannya di bumi. Sosok Ayah yang diidam-idamkannya tak pernah hadir dalam nyata. Hanya lewat mimpi yang terkesan jarang, dan ia pun lupa bagaimana suaranya. Dan sekarang, ketika bumi mengambil ibunya pulang, rasa sakit itu berlipat-lipat rasanya hingga Embun merasa hambar di waktu bersamaan. Embun hanya memeluk ibunya dalam diam, membisikkan kata rindu untuk jangan pergi.

"Bu... Embun sakit, Bu. Dada Embun sakit.. rasanya sesak, Bu." Embun terisak lirih, tak mampu lagi menahan seluruh tubuhnya untuk berpijak di bumi. Ia terjatuh. Bernapas dengan susah payah mengendalikan dirinya yang tiba-tiba rapuh tak berdaya. "Embun takut, Bu. Embun takut sendirian. Embun takut kehilangan. Embun takut kepulangan. Embun takut ditinggal, Bu..."

Umurnya baru menginjak tujuh belas tahun, namun kesendirian seolah mengisi hari-harinya seketika. Isak tangisnya mengisi suasana sepi di sana. Mengiris setiap insan yang sekiranya mendengar. Namun sepertinya kesendirian memang menyelimuti dirinya, tak ada siapapun. Tak ada siapapun yang mampu menghentikannya.

-o-

Untuk mengawali Desember, 'Rampung' hadir sebagai cerita kesekian yang harus saya bawa ke bumi. Untuk menegaskan beberapa perihal penting dari sebuah kehilangan, yaitu mengikhlaskan.

Dan.. oh ya, cerita ini juga mengandung bahasa anak muda yang cenderung kasar. Jadi jangan ngerasa jomplang waktu baca perbedaan komunikasinya yaa.

Salam,
Nadir Auzora

1'12'20

RampungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang