Bagian 2 : Kenapa Aku Hidup?

1.1K 87 27
                                    

"Maaf, bapak udah nggak bisa nolong kamu lagi." PP hanya bisa mendesah, bahunya melorot kecewa, matanya berubah menjadi sedu. Tidak adakah yang bisa mengerti posisinya sekarang? Mendengar penjelasan saja mereka enggan.

"Kamu di skors, sampai musyawarah pihak guru sudah mencapai final, apa kamu dikeluarkan, atau boleh lanjut di sini." Lelaki malang itu hanya bisa mengangguk pasrah. Diambilnya amplop yang entah isinya apa itu, lalu berniat untuk pergi, tapi suara kepala sekolah tadi berhasil menahannya.

"Saya tahu kamu murid baik-baik, hanya saja ... kamu mengerti, kan?"

PP mendesah pelan, kata-kata penyemangat serupa itu tak mempan untuknya yang terlalu banyak masalah. Wajah itu berubah menjadi datar, sebenarnya dia sudah muak dengan yang bernama masalah, kenapa ada-ada saja yang merusak hidupnya? Semesta tak pernah adil padanya.

Lelaki beralis tebal itu tak mengiyakan satu pun perkataan kepala sekolahnya itu. Memilih untuk lanjut pergi. Sampai di depan pintu, dia kembali mendesah, sangat berat. Diramalkan banyak murid tengah menguping di luar sana, entah akan sebanyak apa cacian yang menghujaminya nanti. Ah, kalian tak akan pernah tau rasanya menjadi dia.

Dibukalah pintu itu, membebaskan cahaya menampar wajahnya. Pertama silau, selanjutnya sesuai dugaannya. Beberapa murid berdiri menatapnya sinis. Banyak sekali murid, ingat, PP sudah terkenal sekarang! terkenal yang membuatnya tersenyum sinis pula.

Sebenarnya PP adalah spesies murid yang tak pernah jadi sorotan, sekali pun tidak. Anak lokalnya saja entah mengenal dia entah tidak, segitu tersembunyi. Hanya sahabatnya yang bersinar, terlalu terang sampai dia tak terlihat. PP membelalak, melihat sahabatnya itu yang ternyata juga berdiri antara kerumunan orang.

"Kin ..." serunya memanggil. Mata mereka sudah saling tatapan yang membuat semua orang menjadi beralih menatap mereka berdua pula.

"Lo masih nganggap dia temen?" ucap teman satu gengnya. Yang masyarakat sekolah tahu, Billkin dan PP tidak sedekat bila di rumah. Yang mereka tahu Billkin menganggap PP hanya seorang teman satu kelas biasa. Padahal mereka adalah teman masa kecil yang dekatnya itu bagai jari tengah dan telunjuk yang disatukan.

Semua orang ingin mendengar jawaban yang Billkin berikan, di sorot matanya sekarang, Billkin tak menatapnya sehangat dulu, lalu menggeleng pelan dengan mata menghadap bawah.

PP hanya bisa tersenyum, senyuman penuh kepedihan. Dia hanya mengangguk pasrah lalu berniat pergi dari sekolah itu.

"Dih, sempat-sempatnya senyum!"

"Astaga, nggak tahu diri banget!"

"Nggak bener ni orang!"

"Emang dasar lonte!"

Kalimat terakhir yang didengarnya begitu mengiris hati. Hahah, ngapain gue marah, kan emang bener, batinya, tapi air mata tak bisa dibendung lagi. Mereka jatuh tak beraturan, air mata yang selama ini dia bendung akhirnya pecah juga.

Menyusuri trotoar nan lengang, lelaki itu sibuk mengusap matanya. Hingga akhirnya ponsel di saku berdering, sebenarnya ini bukan waktunya untuk mengangkat telepon. Dia butuh waktu sebentar. Sekali dia abaikan, berdering lagi, diabaikan lagi, sampai pada panggilan ke lima. PP sudah kehilangan kesabaran akhirnya mengangkat telepon itu dengan emosi, tak dilihatnya siapa yang menelepon.

"APA!?" teriaknya nyaring membuat beberapa pengendara bermotor menatap ke arahnya. Segitu emosinya dia.

Sedetik setelah mendengar lawan bicara berucap. Matanya membelalak, ponselnya entah kenapa jatuh karena tangan sudah tak kuat menggenggam. Mulutnya menganga bak tak percaya.

Ibunya sekarat.

Dengan jalan yang masih oleng dan kesadaran yang sudah seadanya. Diberhentikan taksi. Di kepalanya, bumi tengah berputar, bagaimana mungkin hidupnya bisa hancur begini dalam waktu sangat sebentar? PP, dia tak kuat menangis lagi. Iya, dia menangis, tapi air matanya tak kuat untuk muncul. Sesakit itu sampai dadanya serasa akan meledak.

Stay With Me 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang