Aku melangkah masuk kelas mp 1 (jurusan Manajemen Pemasaran) yang masih tampak sepi. Hanya ada beberapa teman yang juga baru datang. Langsung menuju meja di mana biasanya duduk dengan Irwansyah. Yah, kelas kami memang diatur oleh wali kelas bu Indati, untuk para murid duduknya di selang-seling laki-laki dan perempuan. Meski banyak yang keberatan, tapi mana ada yang berani membantah guru killer itu.
Saat bokong ingin menempel ke bangku kayu, tak sengaja pandangan tertuju ke pintu lalu melihat Agus dan Yuni jalan beriringan menuju tempat duduk gadis bertubuh bohai itu, keduanya tampak akrab sekali. Yuni duduk bersama Heri Yanto dan Agus duduk dengan Suk Mini.
Entah kenapa hati ini jadi ngilu melihat keintiman keduanya. Kenapa cowok manis, bertubuh atletis, muka klimis dan penampilan kalem itu enggak akrab padaku? Padahal dari kelas 1, aku sudah suka padanya. Kini kami kelas dua. Apa Agus tidak merasakan sinyal cinta ini?
"Hai, Juwi!"
Agus hanya menyapa ala kadarnya ketika mata kami beradu. Aku mengangguk sambil tersenyum pahit. Lalu Agus beralih kembali pada Yuni. Jarak tempat duduk Yuni dan Agus hanya terpisah satu barisan bangku dan meja yang lain, dari tempat di mana aku duduk. Jadi jelas apa yang mereka lakukan juga bicarakan. Tampaknya cowok yang suka bola voli dan badminton itu, tengah merayu Yuni untuk pergi nonton bioskop nanti malam.
"What?! Mereka janjian mau nonton bioskop? Ah ...!" gerutu dalam hati. Aku kok, jadi geregetan sendiri ya. Hati panas dan memandang keduanya sebal. Menarik napas kesal, langsung membuka tas kemudian mengambil novel kesukaan dan membaca meski tidak fokus. Pikiran masih tertuju pada Agus.
Membaca novel memang suka aku lakukan di kala menunggu bel masuk atau waktu istirahat. Jarang gabung teman lain yang pergi ke kantin maupun yang hanya ngobrol bersama kelompoknya di depan kelas. Sebab itu, tak banyak teman akrab. Hanya satu sahabat yaitu Indriyani.
"Hayo!"
Tiba-tiba Irwansyah datang mengagetkan, cowok hitam manis berhidung bangir, tubuh agak kurus ini langsung duduk di samping. Aku langsung menepuk pundaknya dengan buku yang tebalnya 300 halaman.
"Aw! Atit tau. Novel aja yang lu baca. Ketauan Bu Indati baru rasa, lu." Dia cengengesan.
"Bodo amat! Yang penting enggak waktu belajar ya," elak ku sambil mendelik padanya.
"Ih, ngeyel! Dibilangin ngelawan."
"Aih ... Sok perhatian," ujarku cemberut.
"Duh, gitu aja ngambek."
Irwansyah mencolek pipiku. Di saat itu pandangan ini menuju ke arah Agus yang kebetulan dia juga sedang menatap padaku tajam bersamaan bel masuk berbunyi nyaring.
---+++---
Pelajaran Bahasa Indonesia di jam kedua sudah berakhir. Bel waktu istirahat telah berbunyi, setelah bu Megawati keluar teman-teman juga ikut berhamburan. Tidak terkecuali Agus dan Yuni, keduanya melenggang keluar kelas diiringi teman yang lain.
"Elo, gak keluar main Juwi? Jajan yuk!" Ajak Irwansyah. Cowok ini memang baik dan perhatian. Apa mungkin karena kami teman sebangku? Atau ...
Ah, jangan su'udzon dulu. Aku sudah kenal dia hampir dua tahun selama satu kelas."Kamu aja deh. Aku lagi malas." Tolak ku halus seraya membuka novel karya Mira W kembali.
"Ya udah deh, kalau gak mau ditraktir. Aku duluan, ya." Aku mengangguk.
Irwansyah pun beranjak meninggalkan diri ini yang mulai membaca. Namun, sekilas melihat pada Indri yang duduk di pojok meja depan tengah mengobrol bersama Maryana dan Slamet, tampak asyik sekali. Mereka termasuk teman baik.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran untuk mendekati Ridwan cowok selengean, yang punya gang bernama the four man crazy. Empat lelaki gila dalam artian mereka si tukang gombal.
Sudah tak terhitung berapa kali aku di gombalin Ridwan dan Bahrizal. Namun, biasa saja dan tidak ngaruh.Anehnya, kenapa hari ini kepikiran sama kepala gang nya? Yaitu cowok cakep,kulit kuning langsat dan punya senyum yang memabukkan, meskipun jika memakai seragam sekolah tidak pernah rapi. Siapa lagi kalau bukan Ridwan.
Aku menjumpai keempat cowok gang gombal itu yang sedang nongkrong di kantin pak Udin. Kebetulan ada Agus dan Yuni di situ yang ditemani dengan Heri Yanto, cowok dingin, berkulit putih pucat bagai tidak pernah terkena matahari. Mereka pada menikmati mi ayam. Aku mendekati Ridwan, bertujuan agar Agus cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My love never die
RomansaKisah romance horor yang akan membawa kita ke nuansa tahun 90-an. Di mana sepasang remaja sedang di mabuk cinta, akan tetapi nasib cintanya bagai Romeo dan Juliet. Cinta mereka terpisah kan oleh maut yang menjemput. Hanya sang wanita yang masih ber...