1. Sang Penolong

33 9 4
                                    

Seorang gadis berdiri mematung di depan sebuah kedai teh. Tertulis "Kedai Teh Senja" pada plang nama bangunan kayu tersebut.

"Bos, dia sudah berdiri di sana lebih dari sepuluh menit," ucap seorang pria dengan sedikit timbunan lemak di perutnya.

"Biarkan saja, dia akan masuk jika ingin," balas wanita yang duduk santai sembari menyesap teh.

Gadis yang berdiri mematung di depan kedai itu masih berdiam diri di tempatnya. Dia menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Terdengar dentingan lembut saat pintu itu dibuka olehnya.

Wanita yang duduk santai dengan segelas teh di tangannya tersenyum ramah pada gadis yang memasuki kedai lebih dalam. "Selamat datang di Kedai Teh Senja," ucapnya.

"Saya Lana," ucap gadis tersebut memperkenalkan diri.

"Baiklah, Lana, silakan duduk," ucapnya. Lana duduk tepat di depan meja sang wanita dengan canggung.

Wanita tersebut membenarkan posisi duduknya lalu meletakkan gelas berisi teh yang tinggal setengah di atas piring kecil berukir. "Lana, apa yang membawamu ke sini?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Nona Senja, tolong bantu saya. Saya mencari seseorang," ucapnya penuh harap.

Wanita bernama Senja itu kembali tersenyum dan berkata, "Mencari orang? Maaf, saya tidak tertarik."

"Nona Senja, tolong bantu saya sekali saja. Saya tidak tahu harus mencarinya ke mana," ucap Lana dengan nada memohon.

"Ini kedai teh, bukan agen detektif. Saya tidak memiliki kewajiban untuk menuruti permintaanmu," jawab Senja.

"Nona Senja, saya mohon. Dia orang baik yang telah menyelamatkan saya. Tolong bantu saya kali ini saja." Lana memohon pada Senja yang tampak tidak peduli.

"Sudah saya katakan sebelumnya, ini kedai teh, bukan agen detektif. Saya tidak tertarik dengan apa pun selain sebuah cerita," jelas Senja kembali menyeruput tehnya.

"Maka saya akan bercerita." Lana berucap tidak sabaran. Baginya, yang terpenting saat ini adalah seseorang yang tengah dicarinya.

"Baiklah, saya akan dengarkan," ujar Senja seraya menuang teh dalam gelas kosong.

Lana menyeruput teh dengan gumpalan asap tipis yang membumbung ke udara. "Semua bermula dari pasar."

***

Sore ini sama cerahnya seperti sore-sore kemarin. Kapas putih menggulung tampak menghiasi langit biru, berdampingan dengan sinar matahari hangat yang menyentuh setiap jengkal kehidupan di bumi.

Semua tempat, tanpa terkecuali, menghangat. Pun termasuk pasar yang menjadi tempat bertemunya para pedangan dan pembeli. Namun, pasar hari ini tampak riuh, tidak seperti biasanya.

"Dasar kucing jelek! Mengganggu saja!" teriak seorang penjual ikan.

Seekor kucing hitam kurus berlari dengan susah payah. Sesekali ia terjatuh saat kakinya sudah tidak mampu menopang bobot tubuhnya. Beruntungnya, penjual ikan itu tidak mengejarnya seperti hari kemarin. Namun, dia melempar benda apa pun yang dapat dijangkau olehnya pada kucing hitam tersebut. Alhasil, sang kucing mendapatkan beberapa luka di kaki dan tubuh akibat ulah si penjual ikan.

Kucing itu tergeletak lemas di sudut bawah pedagang sayur. Sang penjual dengan teganya mengusir kucing tersebut. Dia menendang dan melempari kucing hitam nan malang itu dengan kerikil bebatuan.

'Aku bahkan tidak memiliki energi untuk berubah menjadi manusia,' ungkapnya dalam hati.

Langkah kucing hitam itu terhenti di pinggir taman. Ia tergeletak tidak berdaya dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Pandangannya mulai kabur, kelopak matanya perlahan menutup. Namun, diurungkan saat sepasang kaki mendekat ke arahnya.

"Siapa?" tanyanya.

Kucing hitam tersebut belum mendapat jawaban atas pertanyaannya. Kelopak matanya kini tertutup sempurna.

Seorang pemuda merengkuh tubuh kucing hitam dan kurus itu lalu membawanya pergi.

***

Perlahan, kelopak mata kucing hitam itu terbuka. Dia melihat sekeliling, tempat di mana dia berada terlihat asing. Derap kaki membuatnya tersentak kaget. Terlihat seorang pemuda membawa sesuatu di tangannya.

"Ah, itu piring," ungkap si kucing, "ada makanan tidak ya?"

Pemuda itu semakin memperkecil jarak antara dirinya dan kucing yang menggulung diri di atas selimut. Dia meletakkan piring tersebut di depan si kucing.

"Wah, ikan." Kucing tersebut beranjak dari tempatnya kemudian melahap ikan tanpa sisa.

Dengan lembut pemuda itu mengelus kepalanya yang membuatnya menoleh pada sang empu.

"Makan yang banyak," katanya dengan sebuah senyum yang terukir.

Hari-hari berikutnya, kucing itu dirawat di rumah si pemuda sampai luka-lukanya sembuh. Suatu hari, ia membawa kucing itu jalan-jalan. Ia menghentikan langkah di taman tempat pertama kali ia menemukan si kucing.

"Kucing kecil, kamu bebas sekarang. Kamu boleh tinggal di mana pun kamu mau. Aku akan kembali setiap hari untuk memberimu makan. Di sini, di taman ini," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan kucing tersebut.

Keesokan harinya, sang pemuda datang dan menepati janjinya. Begitu setiap hari sampai hari ke tujuh. Di hari ke delapan, sang pemuda tidak datang. Kucing itu terus menunggu hingga hari berlalu.

Satu hari, tiga hari, tujuh hari, sepuluh, tiga belas, dua puluh, satu bulan, bahkan satu tahun lamanya, sang pemuda tidak pernah kembali. Kucing hitam itu tidak lagi menunggu kedatangannya, menunggu belas kasihan si pemuda yang memberinya makan, melainkan mencari. Mencari si pemuda yang bahkan tidak berada di rumahnya. Gubuk sederhana itu pun terlihat tidak terurus sama sekali.

Bertahun-tahun berlalu, kucing hitam itu terus mencari keberadaan sang pemuda yang menyelamatkan nyawanya dibalik wujud manusianya. Dia berjalan mengikuti ke mana arah kaki melangkah. Namun, sang pemuda entah berada di mana. Tidak sekalipun ia menemukan jejak keberadaannya. Sampai akhirnya, ia berhenti di depan sebuah kedai teh yang terkenal. Katanya, sang pemilik kedai dapat mengabulkan satu permintaan terbesar pelanggannya.

***

"Wah, sungguh cerita yang menarik," komentar Senja di akhir cerita Lana.

"Saya harap Nona Senja dapat membantu saya," ujar Lana penuh harap.

"Sudah saya katakan sebelumnya. Saya tidak bisa membantu. Sebaiknya Lana pulang saja. Apa yang terjadi di masa mendatang, tidak akan ada yang tahu. Mungkin saja ada sebuah kejadian," jelas Senja kembali menyeruput tehnya.

Lana beranjak dari tempatnya kemudian melangkah keluar dari kedai teh dengan lesu. Dia berdiri menatap kedai teh selama beberapa detik sebelum berbalik. Netranya membola kala mendapati punggung seorang pemuda yang amat dikenalnya.

"Manusia baik!"

🍃 Selesai🍃

Kedai Teh Senja [KumCer] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang