Hidupku selalu menjadi ajang pertaruhan. Layaknya para hewan yang berlomba-lomba menjadi raja hutan. Kini aku, menjadi petaruhnya.
🔱🔱🔱
Setelah KSN tahun ini selesai, Devan kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tak ada hal menarik yang terjadi, sebelum Lucy benar-benar pindah ke Swaeden. Devan yang cukup terkejut pun tak tahu harus bersikap bagaimana.
"Hai, Dev." Suara yang sudah lama tak ia dengar, kini terdengar mengalun di telinganya.
Devan yang sedang memejamkan matanya sambil berbaring di ruangan OSIS pun membuka matanya perlahan.
Devan menatap lurus ke arah Lucy. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Lucy yang maklum dengan respon yang diberikan Devan pun tersenyum. "Senang ketemu kamu di sini. Aku gak nyangka, kalau hasil tesku membawaku ke sini."
Devan mengangguk singkat dan langsung keluar dari sana. Meninggalkan Lucy sendirian di dalam sana.
Tak percaya dengan apa yang terjadi, Devan pun menghubungi Aldrich. "Heh, kenapa lo gak bilang apa-apa soal Lucy?"
"Lupa." Jawaban yang terdengar membuat Devan berdecak kesal. Bagaimana bisa laki-laki itu sesantai ini? Sedangkan dirinya sudah menggila.
"Al!" Walaupun seruan kesalnya sudah dipastikan tidak akan didengarkan oleh Aldrich, tetapi dia tetap melakukannya.
"Dev, masa depan itu dihadapi. Masa lalu diikhlaskan. Lo lari ke mana pun, kalau emang Lucy udah jadi takdir lo, semuanya bakalan tetap balik ke awal, 'kan?"
Tak ada sahutan dari Devan. Hanya ada helaan napas yang membenarkannya. Devan menutup telepon tanpa berkata apa-apa. Sudah saatnya ia menghadapi. Menghadapi hal, bahwa gadis masa lalunya telah kembali.
🔱🔱🔱
Hanya sebuah kisah indah yang diabadikan dalam bentuk seni dua dimensi. Begitu katanya. Padahal, setiap warna yang ditorehkan oleh Lucy di atas kanvasnya, jauh dari kata indah. Hanya saja, ia memanipulasi kisah itu.
Walaupun demikian, bukankah penikmat seni sejati akan tetap merasakan kemurniannya? Kemurnian bahwa kisah di balik lukisan itu tak seindah yang tampak. Tak memiliki warna, sebanyak dan seindah itu pula. Hanya ada hitam putih yang saling bertautan.
"Dev, aku kembali ke sini untuk menyelesaikan masa lalu. Bersiaplah."
Lucy menatap lukisan wajah Devan dengan tersenyum bahagia, walaupun Swaeden dipenuhi dengan siswa-siswa pendiam, cuek, dan ambisius berlebih. Setidaknya, ia bisa bertahan di sini dengan bantuan mereka. The boys dari lima marga terbesar dan terkuat di Indonesia.
🔱🔱🔱
Coronation. Acara pemahkotaan bagi pemimpin baru dari lima marga besar, yaitu Arlestair, Mesarth, Samudra, Pollux, dan Dirgantara. Pemahkotaan yang mengharuskan mereka bertarung melawan seluruh kandidat yang juga memiliki kualifikasi sama besarnya.
Arlestair, mereka adalah yang terkuat. Menjadi raja baru merupakan beban terberat. Tak jauh beda dengan Mesarth. Hal itulah yang dirasakan oleh Devan Belvsio Mesarth. Bahkan, ia harus merelakan seluruh cintanya untuk Lucy Kieza Zeenda, karena marga mereka yang saling bermusuhan.
Ini adalah tentang sepasang kekasih yang harus saling memilih. Sebab bagi mereka ... hidup adalah pertaruhan. Sesuatu yang akan digenggam terlalu erat, berarti siap untuk melepaskan sesuatu yang tak kalah pentingnya.
Hai, hai! Aku balik dengan seri kedua dari High School Moments. Untuk kalian yang penasaran dengan hubungan Elie dan Aldrich, atau mungkin tentang pemahkotaan para marga yang bikin pusing tujuh keliling, di sini bakalan kalian dapati jawabannya. Ya, walaupun udah beda main character.
So, stay tune! Keep enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
HSM 2: PAIN(T)
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Setiap lekukan kuasku menggores, aku tersadar bahwa 'kuas' milikku tak berbalas." Lukisan klasik menggantung di dinding-dinding kamar. Penuh dengan warna dan sejarah. Sama seperti kisah mereka, penuh warna dan banyak kisah yang telah...