"Dokter Choi, kau akan ada visit ke ruangan pasien Im Nami pukul lima tepat yah"
Seorang wanita yang di panggil Dokter Choi itu lalu berbalik, melepaskan kacamata yang setia bertengger di hidung mancungnya, "Berarti aku memiliki satu jam untuk istirahat bukan, suster Lea?"
"Iya, Dokter. Anda bisa beristirahat selama satu jam" sahut sang suster—Lea— setelah sebelumnya mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Dokter Choi—atau lebih lengkapnya Choi Lisa— menganggukan kepalanya mengerti, gadis dengan rambut berwarna ash grey itu merengangkan tubuhnya yang terasa kaku, "Padahal sudah beberapa tahun aku bekerja di rumah sakit jiwa ini, tapi mengurus orang-orang dengan gangguan jiwa itu selalu memerlukan tenaga ekstra yah" sahutnya yang hanya di balas kekehan serta anggukan kepala pertanda setuju dari Lea.
"Lea-ya, jangan ada yang masuk ke ruanganku. Kau paham kan?" sahut Lisa berubah serius.
"Baik, Dokter" sahut Lea yang dibalas senyum singkat dari Lisa sebelum gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruangan pribadinya.
Lisa menjatuhkan bokongnya di kursi setalah ia menutup rapat-rapat pintu ruang kerja pribadinya. Gadis itu menghela napas dalam, merasakan penat menghantam tubuh kurusnya. Sudah hampir tiga tahun ia bekerja sebagai salah satu dokter di rumah sakit jiwa yang terletak di pingiran Kota Seoul semenjak ia merampungkan S2-nya di salah satu universitas terkemuka di Berlin, Jerman. Namun, gadis itu masih belum juga terbiasa dengan rasa lelah selepas menenangkan pasien-pasien yang mengamuk.
Lisa memandang kosong pada figura berisikan foto usang dirinya dengan sang sahabat ketika mengunjungi salah satu taman hiburan di Kota Seoul. Ia menghela napas, menyenderkan punggungnya sambil menatap dinding putih pucat membosankan di hadapannya. Rasanya baru kemarin ia mencium bau tanah basah selepas sahabatnya di kebumikan. Rasanya baru kemarin ia menyaksikan Bibi Kim yang mengorok lehernya sendiri dengan sebilah pisau tatkala ia hendak mampir untuk memberikan kue buatan sang ibu. Rasanya baru kemarin ia di selamatkan oleh kedua orang tuanya dari ambang kematian akibat overdosis obat tidur. Waktu telah berlalu begitu cepat hingga sekarang ia telah tumbuh menjadi wanita dewasa saat ini.
Mengingat banyak hal yang terjadi di belakangnya membuat kepalanya berdenyut ngilu hingga ia memejamkan matanya rapat, masa lalu memang tak selalu baik jika kembali terkenang. Lisa hanya mampu merasakan getir dari masa lalunya seolah semua hal baik yang pernah terjadi padanya terhapus begitu saja. Hilang bersama sosok yang telah lama pergi atau mungkin tidak.
"Kau mengalami hari berat lainnya, huh?"
Mata Lisa yang semula terpejam rapat langsung terbuka. Seulas senyum tersungging di bibir plumnya kala menatap cermin berukuran besar yang menampakkan sosok seorang gadis yang tak pernah menua. Ia menegakkan tubuhnya lalu kemudian bangkit berdiri hingga kini ia sudah berhadapan langsung dengan sosok yang selalu ia rindukan. Kim Jennie, gadis itu selalu berdiri di sana dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
"Ya, mengurus orang-orang dengan gangguan jiwa itu sangatlah melelahkan"
"Bukankah Kau juga salah satu dari mereka?"
Lisa terkekeh pelan, mengangguk-anggukan kepalanya singkat, "Lucu bukan?. Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit jiwa, ternyata memiliki gangguan kejiwaan. Aku sampai tak mengerti, mengapa begitu mudahnya mengelabuhi orang-orang bahwa aku juga normal seperti mereka."
Lisa menghentikan kekehannya kala maniknya menangkap mata tajam Jennie yang memandangnya dengan iba. Wajah gadis itu mengeras, kedua tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia benci tatapan seperti itu, ia benci di tatap iba oleh siapapun karena tatapan itu selalu mengingatkannya dengan insiden di pantai beberapa tahun lalu. Insiden di mana ia menyaksikan mayat sahabatnya sendiri telah terbujur kaku di tepi pantai.
"Jangan menatapku seperti itu, Kim Jennie. Kau tahu aku membencinya" suara Lisa mendadak dingin, tatapannya menajam ke dalam manik sehitam jelaga di hadapannya. Menohok.
"Lisa-ya, ini salah. Ikhlaskan kepergianku, Kau tahu bukan bahwa aku yang ada di dalam cermin ini hanyalah halusinasimu belaka?."
"Apa maksudmu?" suara Lisa meninggi, ia bahkan tak peduli jika ada orang yang mendengar suaranya di luar sana, "Aku melakukan apa yang kau minta, aku membuatmu hidup kembali!. Kau masih hidup Kim Jennie!. Kau hidup!"
"Bukan ini yang aku minta, Lisa-ya. Aku hanya ingin Kau hidup dengan baik"
"Bagaimana aku bisa hidup dengan baik setelah Kau pergi dengan cara seperti itu Kim Jennie!. Katakan padaku bagaimana caranya!. KAU YANG MENYEBABKAN AKU BERUBAH TAK WARAS KIM JENNIE. KAU PENYEBABNYA!"
"Do-dokter Choi?"
Lisa langsung menoleh, menemukan seorang suster muda yang memandangnya terkejut. Napas Lisa masih memburu, gadis itu menyisir poninya ke belakang dengan helaan napas berat, "Bukankah aku sudah bilang pada suster Lea bahwa tak ada yang boleh masuk ke ruanganku?"
Mendengar suara Lisa yang begitu tegas serta mengintimidasi mampu membuat suster tersebut gemetar di tempatnya, "A-anu, ta-tapi saya di suruh oleh Dokter Yoon untuk memanggilmu karena pasien Kim Junghwa lagi-lagi mengamuk dan menghantamkan kepalanya ke dinding"
Lisa mendecih pelan, ia lalu melirik pada cermin dimana di sana masih terdapat sosok Jennie yang memandangnya dengan iba. Menjengkelkan sekali, "Aku akan segera kesana"
"Ba-baik, Dok"
"Tunggu dulu," ucap Lisa cepat kala suster muda itu hendak buru-buru menutup pintu ruang pribadinya, "Siapa namamu?"
"N-ningning, nama saya Ningning Dok"
"Oh," sahut Lisa pendek, "Rahasiakan apapun yang kau lihat tadi jika Kau masih ingin hidup Ningning-ssi. Aku tak main-main dengan ucapanku" lanjutnya yang langsung disambut anggukan patah-patah dari Ningning.
"Pergi sana" usir Lisa lalu dengan kecepatan kilat Ningning langsung menutup kencang pintu ruang pribadi Lisa.
Lisa memijat pelipisnya sebelum kembali menoleh pada Jennie yang masih memandangnya dengan tatapan yang sama, "Aku pergi dulu mengurus ayahmu. Kita akan berjumpa lagi nanti, Soulmateku" ucapnya mulai melengang meninggalkan ruang pribadinya. Meninggalkan sosok tak nyata yang selalu setia menunggunya di balik cermin. Karena sampai napas terakhirnya, Kim Jennie akan tetap menjadi soulmate seumur hidupnya.
Sesuai yang jiwoo bilang di awal-awal kalau soulmate akan jadi short projectnya jiwoo. Gimana dengan endingnya?? Jiwoo sebenernya agak kurang pede sama endingnya. Tapi semoga readers-nim semua suka yah. Terima kasih banyak buat yang udah mengapresiasi karya jiwoo dengan cara vote dan comment, jiwoo benar-benar menghargainya.
Btw, kalau jiwoo buat cerita dengan castnya anak2 treasure kalian tertarik gak??. Selama hiatus ini sebenernya jiwoo lagi suka banget sama treasure dan udah buat empat cerita dengan castnya mamber treasure. Semoga kita ketemu di book selanjutnya yah~. See ya💜
—kissandhug—
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate
FanfictionMalam itu, di bawah taburan bintang di langit Kota Seoul, ditemani secangkir coklat panas mengepul. Lisa mengatakan ketakutan terbesarnya pada Jennie yang kala itu di baluti dengan selimut merah kesayangannya, "Kau tahu, selain benci pada ular, ada...