AKU Melangkah riang melewati koridor menuju ruang kelasku. Pagi yang cerah, persis seperti suasana hatiku. Padahal baru kemarin aku mencak-mencak sambil curhat pada Emily. Begitulah kelebihanku, kalau marah, hanya bertahan hitungan menit, habis itu lupa. Berbeda dengan Kakakku yang bisa bertahan sampai berjam-jam, bahkan berhari-hari. Ah sudahlah, malas aku pamer perbedaan terus antara aku dan Kak Nathan.
"Pagi Em!" Aku menyapa riang sahabat tengilku itu yang sedang terbungkuk- bungkuk menyapu bawah meja. "Aduh!" Emily meringis, mengusap pucuk kepalanya yang terantuk meja.
"Kau jangan mengagetkan Maddy!" Emily melotot. "Kau yang ceroboh Em. Malah menyalahkan orang" aku mencontoh gaya santai Emily mengangkat bahu, menyeringai. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas. "Jangan ke sini dulu! Ini baru di sapu" seruan itu terdengar. Eh? Aku menoleh, terlihat George, salah satu teman sekelasku sedang melotot padaku sambil memegang sapu di tangan. Apa pula hak si biang masalah ini melarang-larangku duduk."Jangan ke sini dulu Maddy! Ini baru di sapu, nanti kotor lagi terkena debu dari sepatumu"
"Tidak apa Mad, duduk saja. Nanti kalau kotor aku sapu lagi" Emily (tumben) bijak menengahi. "Enak saja-" kalimat tidak terima George terpotong. "Biarkan saja George! Nanti aku sapu lagi" Emily melotot. Aku nyengir lebar memperhatikan keduanya. Segera melangkah riang menuju mejaku.Dia itu George. satu sekolah juga tahu,
George itu nakal, mau menang sendiri, sok berkuasa, dan cobaan untuk para guru-guru lah, pokoknya. Nasib bagi Emily, dia di kelompokkan piket dengan si biang masalah itu. Tak ada yang keluar dari bibir ranum Emily selain keluhan dan omelan saat curhat denganku setiap selesai piket. Aku nyengir lebar mengingatnya. "kalian cuman berdua?" Aku tiba-tiba bertanya memecah lenggang. Celingukan menyadari tidak ada teman yang lainnya. Emily menoleh. "Iya. Yang lain belum masuk. Ada yang sakit, ada yang ada keperluan" Emily mengangkat bahu. Kembali mengayunkan sapu di tangan kanannya."Tinggalah aku dengan si biang masalah ini. Harus aku cegat dulu dia baru mau piket. Enak saja, setiap piket bolos. Memangnya sekolah ini punya Ayahnya?" Emily melotot pada George-yang hanya di balas dengan dengusan jengkel. Aku menyeringai.
***
"Baiklah, coba kalian buka buku paket halaman 33..." Mr. Louis, guru matematika kami sibuk membolak-balik halaman buku paketnya. Aku menguap, malas-malasan ikut membalik-balik halaman buku. Selalu saja begini, semangatku setiap pagi seolah selalu di sedot habis ketika ada pelajaran matematika. Walau Mr. Louis guru yang menyenangkan dan mudah di mengerti, tetap saja di setiap ada ulangan mendadak aku merasa kiamat.Matematika.., ilmu yang menyenangkannn..
Kami semua sontak menoleh kedepan. Mr. Louis buru-buru merogoh sakunya. "Maaf, sebentar" Mr. Louis tersenyum canggung sambil memegang Handphone-nya yang berbunyi. Aku tercengang, anti-mainstream sekali ring tonenya. Mr Louis Melangkah cepat keluar kelas untuk menerima telfon. Kami semua saling pandang, mengangkat bahu. Lima menit berlalu, Mr. Louis akhirnya masuk dengan wajah yang serius. "Maaf anak-anak, saya ada rapat mendadak pagi ini" kami semua sontak memasang wajah kaget. Tetapi aku yakin kalau kami semua juga sontak berteriak kegirangan dalam hati masing-masing.
"Tetapi tenang saja, pelajaran akan tetap di lanjutkan.." wajah kami semua berganti menyeringai sebal. "Khusus untuk hari ini kita hanya mencatat, mendikte materi untuk ujian harian minggu depan. Materinya ada di buku paket khusus guru ini. Halaman 35-40. Maddy, bisa tolong kau diktekan?" Aku hanya mengangguk, maju kedepan menerima buku dari tangan Mr. Louis. "Nah, kalian jangan ada yang keluar kelas sebelum guru selanjutnya masuk ke kelas. Kalau ingin buang air atau ada keperluan jangan main keluar saja, bilang dulu sama Maddy, paham?" Kami semua mengangguk.
Mr. Louis tersenyum, "kalau begitu selamat bekerja" Mr. Louis beranjak keluar kelas.
Sepuluh menit berlalu, kelas lenggang. Menyisakan suara lantangku membaca kalimat demi kalimat dari buku paket matematika. Teman-temanku sibuk menyalin. Sesekali ada teman yang meminta di ulang. Aku mengulang satu-dua kalimat-sambil ikut menyalin. Sejauh ini lancar, tidak ada masalah. Dua puluh menit lagi berlalu, aku masih asyik mendikte, teman-temanku ikut larut dengan tulisan-tulisan mereka. Hingga suara khas milik George menyela suaraku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORIES
RandomBagiku, sebuah kenangan bukan hanya sekedar memori di kepala, tetapi juga sebagai langkah awal untuk perubahan. seperti anak yang merengek pada kakaknya meminta permen yang sedang kuperhatikan ini, dia akan belajar di kedepannya bahwa meminta bukan...