MALANG tak dapat di tolak, ternyata asmaku benar-benar kambuh saat di Pegunungan Howitt.
Nyaris setengah jam Emily berteriak meminta tolong, tetapi hari sudah terlanjur gelap. Karna di sana daerahnya sepi, jadi tidak ada lagi bus yang lewat atau sekedar orang yang lewat untuk menolong. Dan seperti bala bantuan yang turun dari langit, Kak Nathan akhirnya datang dan langsung menggendongku pulang.
Aku mengerjap-ngerjap pelan. Tetapi sejurus kemudian, aku tersentak kaget—demi mengingat kejadian tadi. Aku refleks menegakkan badan—serentak dengan Emily yang memegangiku lembut. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Ternyata aku sudah berada di UKS sekolahku. Emily mendatapku dengan tatapan cemas, sedangkan Kak Nathan di samping kananku melipat tangannya di dada. Tatapannya datar.
"Apa yang terjadi?" Aku perlahan-lahan melepas nassal cannula yang menempel di kedua lubang hidungku. Nafasku sudah tak lagi sesak, namun tenggorokanku masih sedikit sakit. "Kau pingsan saat di pegunungan tadi, Maddy. Nathan-lah yang datang dan menggendongmu sampai ke sini. Diane sudah memeriksamu tadi, dia bilang kau kelelahan dan alergi udara yang terlalu dingin. Tetapi kau baik-baik saja sekarang. Apa kau merasakan sakit?" Tukas Emily panjang lebar. Mata coklatnya menyorot wajahku khawatir.
Kak Nathan? Aku langsung menegang saat Emily menyebut nama itu. Tanpa menghiraukan pertanyaan cemas Emily sebelumnya, aku menoleh pada Kak Nathan, lalu langsung menunduk melihat tatapan tajamnya yang begitu dingin. Aku menelan ludahku gentar. Bahkan seluruh tubuhku merinding saat ini. Bagaimana aku akan mengatakan tentang kebohonganku pada Kak Nathan? "Te-terima kasih sudah me-nyu-sul, Kami, Kakak. Maaf kalau aku pergi tanpa bilang dan pamit dulu pada Kakak" aku meremat jariku—sekuat tenaga menahan tangis ketakutan. Kak Nathan nyaris saja memukul brankarku jika saja dia tidak menahan diri.
Kak Nathan memejamkan matanya, bahkan napasnya memburu, berusaha sekuat tenaga menahan Emosi. "Kau membuatku malu setengah mati dengan Emily dan Sir Jake" kalimat Kak Nathan yang penuh penekanan sukses membuatku bergetar. "Bisa-bisanya kau berbohong untuk kesenanganmu sendiri, dan kau membuat repot semua orang APA KAU TAHU?! Bahkan Emily nyaris saja menangis karna bingung bagaimana cara menolongmu saat kau pingsan. Kau.." Kak Nathan sepertinya sudah benar-benar marah. Bahkan dia tidak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. "Terserah lah habis ini kau mau apa, capek saja aku menjagamu mati-matian, melarangmu apa yang seharusnya kau hindari, lalu kau sendiri yang—terserahlah sekarang kau mau apa lagi" Kak Nathan bahkan sudah kehilangan kata-kata lagi untuk mengomeliku. Setelah itu di pergi begitu saja tanpa menoleh padaku kembali.
Aku masih terisak-isak hebat sambil memeluk tubuhku sendiri. Emily menatapku sendu, lantas lembut membawaku pada rengkuhan mungilnya. "Shuut.. sudah, jangan menangis lagi, nanti matanya bengkak loh"
"Apa dia membenciku Em?" Aku tersentak-sentak oleh tangisku. Bertanya sesenggukan sambil mengeratkan pelukan. Emily tersenyum sambil mengusap rambutku sekilas. "Dia hanya marah padamu sahabatku, dia tidak akan pernah membencimu".Tanpa kuketahui, Emily membatin dalam hati. Andai kau tahu seberapa paniknya Nathan ketika kau pingsan tadi, pasti kau tidak akan pernah bisa menuduhnya benci padamu.
***
Aku menghela napas saat membalik badan untuk melihat jam dinding di belakangku.Hari ini jam pertama di kelasku adalah Biologi, pelajaran favoritku sepanjang masa. Dan inilah yang paling kubenci, ketika pelajaran Biologi seakan waktu berjalan begitu cepat, sedangkan saat pelajaran lain, seperti kura-kura berjalan, lambat bin lemot. Berbanding terbalik dengan matematika, nilai-nilaiku begitu indah di pelajaran biologi. Aku hanya mendapatkan 80 sebagai nilai terendahku untuk pelajaran satu ini. Palingan dapat 80 hanya sekali-sekali, itupun karna biasanya sakit sehingga tidak belajar (aku tidak sebodoh di eskpektasi kalian ☺️). Jangan tanya matematika, nilai tertinggiku hanya 70, itu pun sama seperti aku mendapatkan 80 dalam pelajaran biologi, sekali seabad.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORIES
AcakBagiku, sebuah kenangan bukan hanya sekedar memori di kepala, tetapi juga sebagai langkah awal untuk perubahan. seperti anak yang merengek pada kakaknya meminta permen yang sedang kuperhatikan ini, dia akan belajar di kedepannya bahwa meminta bukan...