Nara menghentikan laju motornya tepat di halaman rumahku. Aku turun dari motor dan melepaskan helm untuk memberikannya kembali pada Nara. Tapi saat aku ingin memberikan helm itu, justru Nara menggeleng cepat.
"Pakai helmnya, kita pergi lagi," ucapnya dengan nada yang sedikit aneh.
Nara tidak memandangku, hanya menatap lurus ke dalam rumahku yang membuat aku mengernyitkan dahi bingung.
"Kenapa? Mau ke mana?"
"Pakai helmnya, Kenya. Kita—"
Ucapan Nara terhenti saat aku dengan cepat menoleh ke dalam rumah. Oh, bagus. Pemandangan yang sungguh membuat mataku hampir rusak karena melihatnya.
Di dalam sana, aku melihat wanita itu sedang berpelukan dengan pria yang aku sendiri tidak tahu siapa. Pria itu berbeda dari yang sebelumnya ia bawa ke rumah, dan tentu saja, wanita itu memang selalu membawa pria yang berbeda-beda ke rumah ini.
"Ken ..."
"Nggak perlu khawatir, gue udah biasa," kataku yang tahu apa yang sedang Nara pikirkan
sekarang.
"Mama sering kayak gitu di rumah?" tanya Nara bingung.
Aku terdiam. Walaupun aku dan Nara dekat, aku memang tidak pernah memberitahu Nara soal ini. Terlalu memalukan bagiku untuk memberitahunya pada orang lain walaupun kenyataannya, hampir semua orang yang tinggal di komplek rumahku berada sudah tahu bagaimana kelakuan wanita itu.
"Kenya, kenapa lo nggak pernah bilang ke gue?"
"Bilang ke lo bukannya sama aja kayak buka aib gue sendiri dan buat gue malu?"
Benar, kan?
Hal seperti ini bukanlah hal yang pantas untuk dibicarakan pada orang lain, sekalipun orang itu adalah orang terdekatmu. Nggak peduli seberapa kamu dekat dengan orang itu, kalau menurutku itu aib, dan sudah seharusnya kamu simpan sendiri, ya aku pun lebih memilih untuk tidak mengatakannya.
"Tapi, Ken—"
"Gue udah bilang, nggak perlu khawatir. Cuma masalah biasa aja kok," kataku berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan kesalku pada Nara.
Aku kesal.
Aku malu Nara melihat ini.
Tidak seharusnya Nara mengantarku pulang atau bahkan menemaniku ke toko buku. Seharusnya aku memang pergi sendiri, melihat hal ini sendiri, tanpa ada orang lain lagi yang tahu.
Tapi sepertinya Tuhan memilih untuk menunjukkannya pada Nara bagaimana buruknya wanita itu hingga aku mampu membencinya sampai batas ini.
"Kalau udah kayak gini, gue makin nggak mau ninggalin lo sendiri di sini, Ken."
Nara menatapku sayu, pandangannya hanya lurus menatap mataku, berusaha menyampaikan perasaan khawatirnya dan rasa kasihannya pada diriku.
"Gue nggak suka lo ngelihat gue kasihan kayak gini, Nar." Aku membuang pandanganku darinya, menatap jalanan.
Aku memang tidak suka dikasihani. Untuk apa? Aku yang menghadapi hal seperti ini, lalu orang yang melihat merasa iba, merasa kasihan karena ibu kandungku melakukan hal yang hina ini? Haha. Sudah kubilang, aku ini sudah terbiasa. Aku sudah muak, hingga aku sendiri malas untuk mendebatkan hal ini pada wanita itu.
"Kenya, gue nggak jadi terima beasis—"
"Sekali lagi lo bilang nggak jadi terima beasiswa itu dan membatalkan, jangan harap gue mau ngomong atau bahkan berteman sama lo lagi, Nara." Aku menatap Nara marah. "Hal kayak gini nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak ninggalin gue sendiri di sini. Gue nggak peduli kok dengan apa yang dia lakukan sekarang, atau bahkan nanti kedepannya itu akan jadi lebih parah lagi, sama sekali nggak peduli."

KAMU SEDANG MEMBACA
Kenya Secrets
Teen FictionIni bukan cerita tentang kisah cinta anak remaja yang sering kalian jumpai dalam novel-novel yang sering kalian baca. Ini cuma menceritakan tentang hidupku yang aku sendiri sebenarnya masih ragu apakah aku memilih langkah yang benar atau tidak dalam...