Ada beberapa alasan kenapa aku nggak mau memilih jalan hidup yang lebih baik daripada kehidupan yang aku jalankan sekarang. Bukan karena aku merasa sudah berada di zona amanku, tapi aku merasa kalau sekarang ini belum tepat waktunya.
Aku tahu, sudah seharusnya aku berubah, sudah seharusnya aku melangkah dan mencari jalan hidup baru untuk menjadi sosok yang berbeda, menjadi sosok yang lebih baik dan tidak seperti saat ini.
Otakku sudah berulang kali memerintahku untuk mengubah kehidupanku, mengubah kepribadianku, mengubah langkah yang aku ambil, mengubah semua kesalahan yang telah aku buat menjadi kebaikan—walau tentu saja, kesalahan yang sudah aku perbuat tidak akan bisa dilupakan, bahkan beberapa dari mereka ada yang tidak bisa memaafkan kesalahanku.
Tapi sayangnya, hatiku masih belum bisa menerima semuanya. Aku lebih memilih untuk mengikuti kata hatiku, walaupun sebenarnya bisa diartikan aku mengikuti egoku tanpa mau melihat bagaimana kedepannya jika aku terus menerus menuruti ego seperti ini.
Mungkin jika aku mau mengikuti logikaku, hidupku tidak akan seperti ini. Aku menyalahkan diriku sendiri atas rasa ego yang masih sangat tinggi dan aku masih belum bisa mengendalikan egoku.
Yah, mungkin sekarang aku tidak menyesal karena memilih jalan hidup seperti ini. Merusak diriku, menghancurkan hubunganku dengan ibu kandungku sendiri, tidak mempedulikan setiap tanggapan orang terhadap diriku—sebenarnya, hal yang satu ini ada baiknya, tapi jika berlebihan sepertiku, itu malah akan jadi boomerang untukku nanti.
"Kenyaaa ... bengong terus ish," suara Nara terdengar dari sisi kiri tubuhku.
Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. Mataku terarah pada Nara yang membawa dua botol air mineral dingin, tangannya terulur untuk memberikan salah satunya padaku.
"Makasih."
"Jangan kebanyakan ngelamun, nggak baik," ucap Nara sembari membuka tutup botol, menenggak isinya hingga menyisakan setengahnya.
Aku mengedikkan bahu. "Nggak kebanyakan ngelamun, baru tadi juga kan."
Nara mendengus mendengar sangkalanku. Aku yakin sekali, walaupun Nara sering kali memerhatikan ponselnya dan sibuk bermain game, tapi cowok yang berada di sampingku ini diam-diam memerhatikan sekitarnya—termasuk diriku pun ia perhatikan walau tidak ketara.
Nara duduk di sampingku, kami berdua sedang berada di lapangan basket yang berlokasi di belakang gedung kelasku dan Nara. Saat jam istirahat, aku dan Nara memang lebih senang menghabiskan waktu di tempat ini, sunyi, tidak banyak siswa atau siswi yang datang ke sini karena tempat ini pun terkenal angker. Maka dari itu, lapangan basket ini jarang sekali terpakai. Saat pelajaran olahraga pun, guru memilih untuk menggunakan lapangan indoor.
"Lo beneran nggak mau makan?"
"Lo udah nanya tiga kali sama gue dalam waktu setengah jam, Nara," jawabku ketus. "Gue nggak kepengin makan, nggak nafsu."
Nara merotasi matanya, terlihat kesal. "Mau nyiksa diri lagi? Mau sakit lagi lo anak monyet?"
"Emang gue bilang mau sakit lagi?"
"Ya ... nggak sih,"
"Nah, ya udah, nggak usah bawel. Kalau gue lapar, ya gue makan nanti," kataku menutup pembicaraan kami soal makan.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi Nara untuk memarahiku jika aku melakukan hal yang menurutnya akan menyiksa diriku atau merugikan diriku. Tapi aku sendiri memang tidak ingin makan apapun untuk sekarang, moodku tidak dalam keadaan baik untuk saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kenya Secrets
Teen FictionIni bukan cerita tentang kisah cinta anak remaja yang sering kalian jumpai dalam novel-novel yang sering kalian baca. Ini cuma menceritakan tentang hidupku yang aku sendiri sebenarnya masih ragu apakah aku memilih langkah yang benar atau tidak dalam...