Chapter II 2

491 19 3
                                    

Terdengar beberapa ketukan di pintu kamar Ali,

"Tuan?" 

Rupanya itu merupakan salah satu pembantu Ali. "Tuan tidak apa-apa?"

Raib segera bergegas menyuruh para Ali untuk bersembunyi,

"Eh-- Ali sedang tertidur, ia baik-baik saja!" Sahutnya ke arah pintu, berharap agar bibi tersebut tidak mendadak masuk. "Bibi seperti mendengar suara ledakan tadi, makanya bibi cek. Syukurlah kalau ia tidak apa-apa."

Raib pun menghela napas lega, mengira kalau bibi akan segera pergi.

"Aku membawakan beberapa camilan untuk Nona Raib juga, Bibi masuk ya-"

"BIAR AKU SAJA BI YANG KE SANA--" Raib segera berlari menuju pintu.

Pintu pun dibuka oleh bibi. 

Raib berharap mereka bertiga menemukan tempat persembunyian yang aman dan tidak terlihat. Kedua tangannya bergegas mengambil nampan yang membawa beberapa camilan dan dua gelas minuman. 

"Aduh terima kasih ya, Bibi. Aku jadi tidak enak."

"Tidak apa-apa, Nona Raib. Sudah tugasku." Ia pun bergegas kembali ke pekerjaan lainnya.

Raib mengamati hingga ia menghilang dari pandangan, setelah itu baru ia menutup pintu kamar Ali.

"Situasi sudah aman, kalian bisa keluar." Ujarnya.

Mereka pun kembali ke formasi awal. 

---------------------------------

"Biar aku tebak,"

Raib menatap ke arah si Rapi, "kau sifat Ali yang paling serius kan? Kau keberatan jika kuberi panggilan Rapi?" 

Rapi menggeleng, "Tidak apa. Salam kenal, Ra." balasnya. 

"Salam kenal juga, Rapi." 

Entah mengapa Raib merasa ada suasana canggung di antara mereka berdua. Kalau dari sisi Raib sih, tentu saja, ia masih sedikit kaget melihat wajah Ali tetapi dengan penampilan yang jauh lebih rapi. Namun, entah apa yang membuat Rapi canggung terhadap Raib.


"Oke, berikutnya kau." Pandangan Raib berhenti ke arah si Ramah.


Ia hanya bisa tersenyum ketika Raib mulai mengamatinya. 


"Hmm.. Aneh.. Ali itu jarang tersenyum.." kecuali jika ia memiliki pikiran atau ide yang tidak karuan.

"Oh? Benarkah?" Si Ramah menjawab sambil menyanggahkan kepalanya di tangannya. Raib hanya mengangguk. "Tapi, jujur saja, kau suka kan melihatnya tersenyum seperti ini?"

Raib terdiam. Si Ramah kemudian mengedipkan sebelah matanya.

Astaga. Apa-apaan? 

Raib sedikit terkaget, wajahnya sedikit memerah, sementara dua Ali yang lain hanya bisa bertatap-tatapan satu sama lain.

Ternyata, Si 'Ramah' ini tidak hanya ramah rupanya. 

"..Tadinya aku berpikiran untuk memanggilmu 'Rama', tetapi 'si Genit' akan lebih cocok sekarang-"

"Hehe ayolah, aku hanya bercanda." Mukanya mulai memelas. "Salam kenal, Ra."

Raib memutar matanya sebelum kembali membalas Rama. Ia mengalihkan pandangannya ke Ali yang terakhir. Ali yang ini hanya menatap sinis. 

Sebelum Raib bisa berkata apa-apa, Ali yang ini sudah berbicara duluan.

"Terserah kau mau memanggilku apa. Tidak penting juga." Tiba-tiba ia berbicara.

Hah? Apa masalah anak ini?  Celetuk Raib dalam hati.

"Baiklah," Raib kemudian melanjutkan,

"kau mengingatkanku dengan Pak Gun kalau sedang berhadapan dengan Ali, jadi kau akan kupanggil Pak Gun." 

Ia merasa puas melihat wajah 'Pak Gun' yang menatap tidak percaya.

Pak Gun hanya terdiam, namun kembali bilang 'terserah' beberapa saat kemudian. "Okedeh kalau gitu, salam kenal ya semua. Kalian jangan aneh-aneh di sini, kalau mau apa-apa bilang dulu ke aku."

"Tentu, Ra."

"Siap, Princess."

Si Genit pun terpelanting ke belakang karena terkena tinjuan Raib yang mukanya semerah tomat. Tak lama setelah itu, mereka ditemani oleh suara mengorok Ali yang kerasnya tidak karuan.

_________________

Maap yak baru updet, baru selesai belajar saya :D

Raib and Ali Oneshots!Where stories live. Discover now