Jam sudah menunjukkan pukul 15.30, aku mulai membereskan meja dan juga memasukan beberapa barang pribadi yang kubawa. Setelahnya, aku bersantai sejenak sambil menunggu jam pulang yang masih sekitar tiga puluh menit lagi.
Baru saja selesai membaca dua status di aplikasi berlogo biru, ruanganku kembali di ketuk.
"Maaf, Dokter Lia. Ada pasien laka lantas. Yang sepertinya butuh segera di operasi."
"Apakah sudah ada pemeriksaan dari Dokter Ryan?"
"Sudah. Dan Dokter Ryan menyuruh keluarga korban untuk langsung menemui Bu Dokter."
"Baiklah. Saya minta data pemeriksaan Dokter Ryan. Saya akan mengecek kondisi pasien sebelum keluarga menandatangani surat persetujuan."
Aku dan perawat wanita di ruanganku tadi segera menunju ruang IGD. Di mana pasien laka lantas itu di periksa oleh Dokter Ryan yang kebetulan hari ini bertugas sebagai dokter jaga di ruangan itu.
Kondisi pasien cukup parah. Lengan kanan patah serta ada pendarahan di otak akibat dari benturan keras saat kecelakaan tadi. Pasien juga sudah tak sadarkan diri sejak di bawa ke sini.
Aku menginterupsi perawat untuk segera menyiapkan ruangan operasi selagi aku bertemu dengan keluarga pasien untuk menjelaskan kondisi serta operasi yang akan dijalankan. Sekaligus meminta mereka menandatangani surat pernyataan persetujuan untuk dilakukannya operasi.
Aku menunggu keluarga korban di ruanganku sambil sesekali membolak-balik hasil pemeriksaan dari Dokter Ryan. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita mengucap salam lalu masuk ke ruanganku.
Wajahnya sungguh tak asing di mataku. Aku merasa seperti mengenalnya, tapi entahlah. Tak ada basa-basi di antara kami. Aku langsung menjelaskan segalanya lalu memintanya menandatangani surat yang sudah kusediakan.
Wanita itu sepertinya habis menangis. Matanya terlihat sedikit bengkak. Sebelum benar-benar menandatangani surat yang kosodorkan, wanita itu terdiam sejenak lalu menatapku.
"Mohon maaf sebelumnya, apakah Dokter ini pernah bersekolah di SMA Pelita Kasih?" pertanyaan itu menggantung sepersekian detik. "Nama anda Dokter Lia, 'kan?" lanjutannya.
Seketika aku menyadari sesuatu. Dia teman satu sekolahku dulu. Diana. Sebenarnya dia tak pantas di sebut teman kerana kelakuannya padaku sungguh berbanding terbalik.
Masa SMA-ku bukan masa yang indah seperti kebanyakan remaja. Bully-an dan ejekan sudah menjadi makananku sehari-hari.
"Dasar cupu. Jijik gua deket-deket sama Lu."
"Kaca mata Lu udah kaya mata belalang. Gede banget."
"Lu kalo sekolah mandi kaga, sih? Muka Lu dah kaya orang bangun tidur tau gak."
"Ngerusak pemandangan kelas aja Lu cupu. Ih,najis."
Masih banyak lagi hinaan serta cacian dari Diana dan beberapa teman lainnya. Pencetusnya jelas gadis itu. Entah apa yang membuatnya membenciku setengah mati.
Menyiram seragamku dengan kuah soto, terkadang menarik rambutku dengan sengaja, mencoret-coret buku pelajaranku, menaruh puluhan batu ke dalam tasku. Bahkan mempermalukan ku di depan umum pun pernah dia lakukan. Menaruh pewarna makanan di rok tanpa sepengetahuanku.
Yang membuat aku jadi bahan tertawaan seisi kelas.Meskipun aku tak melihat dia melakukannya, tapi jelas aku tau dia pelakunya. Benci? Tentu saja. Itu hanya sebagian kecil dari beberapa kejahatan yang dia lakukan padaku yang dianggapnya cupu kala itu.
Perlakuannya pernah membuatku drop dan merasa ingin pindah sekolah. Namun, perjuangan masuk ke sekolah swasta ternama seperti sekolahku sangatlah sulit dan tentu saja nantinya akan kembali merepotkan Mama dan Papa. Dengan terpaksa aku menjalani hari-hari di sekolah yang terasa bak neraka.
Melihat wajah Diana yang kini duduk di hadapanku, membuatku memikirkan tentang sesuatu yang memang pernah ku rencanakan dulu.
Lelaki yang menjadi korban laka lantas itu ternyata Suaminya. Mereka sudah memiliki buah hati yang masih balita. Sebenarnya aku berharap dia meminta maaf untuk perlakuannya dulu. Namun sepertinya dia masih merasa tak bersalah. Kerana kata maaf itu tak keluar sama sekali dari mulutnya.
"Lia, gue mohon bantuan Lu. Tolong selamatkan suami gue," pintanya sambil menyeka ujung matanya yang berair.
"Akan saya usahakan semampu saya." Kupaksakan untuk tersenyum ramah ke arahnya. Namaku kini disebut dengan baik. Panggilan cupu mungkin sudah dia lupakan atau hanya pura-pura lupa.
Bagaimana perasaannya kalau ku buat orang yang dicintainya tak tertolong? Melakukan sedikit malpraktek yang sengaja menghilangkan nyawa suaminya. Kurasa semuanya akan impas. Biarkan dia sedikit membayar perlakuannya terhadapku dulu.
______
Tiga setengah jam berlalu di ruang operasi. Kini pasien sudah dipindahkan ke ruang ICU. Saat Melawati ruangan itu, kulihat sosok Diana masih menangis di samping tubuh suaminya.
Ternyata dewasa ini wanita itu menjadi sangat cengeng. Kemana sikap sok jagoannya dulu? Bibirku sedikit terangkat keatas. Tersenyum kecil kemudian kembali melanjutkan langkah.
Membalas sesuatu bentuk kejahatan dengan kejahatan lain memang bukan suatu pembenaran. Aku setuju akan hal itu.
Nuraniku masih bekerja dengan baik. Egoku kalah untuk kesekian kali. Dan sumpah dokterku pun masih mampu kejunjung tinggi. Cukuplah nostalgia buruk masa SMA itu menjadi cerita. Kini aku sudah menjadi sosok yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moral Kehidupan
General FictionBeberapa cerita kehidupan yang sering terjadi di sekitar kita. selalu ada hikmah dalam setiap kejadian, selalu ada pesan dalam setiap perjalanan. semoga menginspirasi.