Chapter Delapan

265 43 8
                                    

Happy Reading.

Mereka berdua telah sampai ke
rumah. Rencana Jimin membawa Jeongyeon membeli perhiasan terpaksa gagal. Jeongyeon turun dari mobil, ia menghempas kuat pintu mobil. Jimin menyenderkan kepala nya pada kursi mobil. Ternyata wanita itu tersakiti selama ini. Ini semua karena keputusan yang ia buat agar bisa mendapatkan harta.

Tapi bukankah manusia memerlukan harta?

"Aku tidak mencintai nya." Jimin menggelengkan kepalanya. Ia memutuskan untuk pergi menenangkan diri.

Jeongyeon masuk kedalam rumah dengan air mata yang masih menetes di pipi nya. Saat ia menginjak ruang keluarga, terlihat tuan Park sedang menatap kosong kedepan. Jeongyeon terkesiap, ia reflek membungkuk kan badan.

"Selamat pagi Tuan Park."

"Dasar wanita tak tahu malu."

Deg.

Telinga Jeongyeon langsung panas mendegar ucapan dari Tuan Park. Tak terasa, air mata mengalir bebas dari kedua matanya. Kening Jeongyeon berkerut, hidung nya memerah ia menangis sekarang.

"Kau hanya benalu di rumah ini. Kau datang dan menikah dengan anak ku. Hapus air mata mu itu. Aku tahu kau menikmati ini semua. Dasar jalang."

Jeongyeon memegang dada nya yang terasa makin sakit. ia pergi keluar rumah. Berlari sejauh mungkin.

Jeongyeon membekap mulutnya. Dada nya terasa sesak akibat tangisannya. Ia memejamkan mata karena rasa sakit nya benar-benar tak mampu ia tahan.

"Hiks..hiks..kenapa sakit sekali HAAAAH." Jeongyeon berusaha mengambil napas. Ia bisa pingsan jika rasa sesak di dada nya tak kunjung hilang.

Jeongyeon duduk di tepi trotoar. Tak lama mobil sedan hitam menghampiri nya. Jeongyeon tidak memperdulikan siapa orang itu. Ia masih senang menangis.

"Jeongyeon? Hei kau kenapa nak?" Ternyata itu adalah Nyonya Park.

"Apa yang terjadi? Apa Jimin menyakiti mu?"

Yuna yang melihat cemas di mobil. Ia tidak bisa turun dan menenangkan kakak nya.

"Eonni"

Nyonya Park memeluk Jeongyeon. Menenangkan calon menantu nya itu. "Tenanglah nak, lebih baik kita pulang."

Jeongyeon dengan cepat menggelengkan kepala nya. Ia tidak mau di sumpah serapah lagi oleh tuan Park.

"Aku ingin pergi Nyonya hiks.." Ucap Jeongyeon sesenggukan.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?" Tanya Nyonya Park khawatir.

Jeongyeon menggelengkan kepalanya. Ia bangun mengelap air matanya.

"Nyonya Park Terima kasih atas kebaikan mu selama ini aku tidak membalas semua kebaikan mu. Aku sangat sayang padamu. Tapi aku harus pergi Nyonya."

Nyonya Park semakin bingung dibuat nya. Ada apa? Kenapa Jeongyeon ingin pergi.

"Tapi ada apa? Kenapa kau harus pergi?"

Jeongyeon tidak menjawab. Ia melepaskan genggaman tangan Nyonya Park. Jeongyeon menghampiri Yuna yang ada didalam mobil.

"Turun." Jeongyeon mengambil kursi roda Yuna di bagasi belakang.

Jeongyeon pelan-pelan membantu Yuna untuk berdiri. Yuna hanya menurut, ia tidak bertanya apalagi menyanggah.

Setelah Yuna siap. Jeongyeon membungkukkan badan nya pada Nyonya Park sebelum ia pergi.

"Nyonya Park Terima kasih." Pekik Yuna yang sudah dibawa Jeongyeon pergi.

"Jeongyeon." Nyonya Park berucap pelan sambil mengulurkan tangannya. Ia benar-benar sedih atas kepergian Jeongyeon dan Yuna. Ia melihat sedih punggung Jeongyeon yang mendorong kursi roda Yuna.

Nyonya Park menuju mobil. Ia harus memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

30 menit berlalu.

Tin tin
Dengan langkah gusar Nyonya Park masuk ke dalam rumah.

Brak.

Nyonya Park membanting pintu utama. Ia mencari orang yang ada di rumah ini. Ia melihat suaminya sedang menonton TV.

"Apa yang terjadi?" Tanya Nyonya Park lantang dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Tuan Park.

"Apa-apaan kau?" Tuan Park berbicara dengan lantang pula.

"Ada apa dengan Jeongyeon?"

"Heuh wanita murahan itu? Untuk apa kau mencarinya." Tuan Park tampak malas membicarakan Jeongyeon.

"Jadi kau yang telah membuat nya pergi?" Pekik Nyonya Park.

"Dia pergi? Oh baguslah." Tuan Park membuang muka dan tersenyum puas. Akhirnya benalu itu pergi dari rumahnya.

"Kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga kau membuat nya pergi?"

"Kau tanya apa kesalahan nya? Kau yang salah. Dimana otak mu menikahkan putra ku dengan wanita kampung seperti dia." Tuan Park berdiri marah.

"Tapi putra mu mencintai Nya."

"Kau terlalu percaya diri, istriku."

Adu mulut itu terus terjadi hingga Jimin pulang. Lelaki itu tampak masih menyimpan beban, terlihat dari wajah nya.

"Eomma, Appa." Keduanya menoleh saat dipanggil oleh Jimin.

"Waktu yang tepat. Sekarang biar kau dengar sendiri dari mulut putraku." Ucap Tuan Park.

"Jimin-Ssi. Jawab dengan jujur apa kau mencintai wanita itu?"

"..." Hening. Jimin tidak berbicara sepatah kata pun.

"Jawab Jimin." Nyonya Park tampak sedang mengontrol emosi nya.

"JANGAN JADI PENGECUT! AKU TIDAK PERNAH MENGAJARKAN MU SEPERTI ITU." Nyonya Park benar-benar sudah emosi. Ia membentak anak nya dan ini adalah yang pertama kali nya.

"Ya eomma aku tidak mencintai Jeongyeon."

Deg.

"Ah dada ku." Nyonya Park terduduk memegang dada nya. Ia benar-benar tidak menyangka akan jawaban yang Jimin berikan.

Tuan Park tersenyum puas atas jawaban Jimin.

"Eomma." Jimi berlari dengan sigap menghampiri ibu nya. Ia khawatir karena baru kali ini ibu nya kesakitan seperti ini.

"Eomma baik-baik saja?"

"Apa yang telah kau lakukan nak? Kau tidak mencintai Nya tetapi kenapa kau memberi harapan pada Nya? Apa aku pernah mengajarkan mu seperti itu? Kenapa kau tidak bertanggung jawab?" Nyonya Park berbicara dengan bibir yang bergetar. Ia tak percaya bahwa anak yang ia didik dengan nilai-nilai budi pekerti yang baik bisa berbuat seperti itu.

"Maafkan aku eomma."

"Eomma sudah terlanjur sayang dengan Nya. Lalu kenapa kau berbuat seperti itu? Eomma benar-benar kecewa dengan mu." Nyonya Park berusaha untuk berdiri. Kepalanya sangat pusing. Ia berjalan perlahan.

"Tidak jangan. Kau ikut saja Appa mu dan jangan dengarkan aku." Nyonya Park menyanggah saat Jimin akan membantu nya menuju kamar.

Jimin menatap hampa tangannya. Ia melihat Appa nya yang terlihat biasa saja.

"Apa benar aku tidak bertanggung jawab?"

------------------------------------------
TBC
Jangan lupa vote & komen😉

I am With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang