[1]. Kita Semua Akan Dicampakkan Pada Waktunya

32 2 0
                                    

Kupikir aku kuat. Kupikir aku masih bisa tersenyum. Kupikir hatiku akan membaik seiring berjalannya waktu. Tapi tidak sama sekali. Hingga sampai di detik aku memutuskan menuliskan ini. Isinya tidak akan panjang. Juga tidak akan terlalu pendek. Tapi cukup untuk meluapkan energi negatif yang sejak akhir November menggantung di sudut kepala.
Sungguh, siapa yang bisa menduga semua akan seberantakan ini? Hari di mana aku memupuk percaya di antara gundahku yang semakin merajalela. Hingga akhirnya pecah dan semua terbuka begitu jelasnya. Tuhan memberitahuku bahwa ada yang sesuatu yang sedang menunggu. Sebuah kepedihan yang teramat dalam. Hingga setiap malam, aku harus bertarung dengan air mata.
Jauh sebelum itu, aku sudah mempersiapkan diri. Bahkan ketika awal-awal aku merasakan firasat tentang semua ini. Aku mencoba menguatkan hati, bilang ke diri sendiri kalau aku pasti bisa berada di posisi ini suatu saat nanti. Pertengkaran yang tidak terelakkan, cacian yang tidak terhindarkan, keretakan yang mulai kelihatan. Aku hanya bisa memperbaiki satu persatu, pelan-pelan agar rusaknya tak semakin dalam. Berdoa sekuat tenaga dan mengalah semampu yang aku bisa. Tetap saja, aku kalah oleh takdir-Nya.

Malam itu, pertahananku roboh begitu saja. Dadaku sesak, hatiku sakit sekali. Tanganku gemetar mendapati sesuatu yang seharusnya tidak usah kulihat. Kenyataan bahwa semuanya telah hancur semakin jelas di depan mata. Kacau. Hanya kata itu yang berputar terus menerus di kepalaku. Jangan tanya seberapa banyak airmata yang kukeluarkan malam itu. Hingga pukul 5 pagi, aku baru bisa terlelap dengan mata bengkak dan bantal yang basah. Sesakit itu. Sesesak itu.
Malam itu pula, aku menduga; kau berbahagia dengannya. Kau berbahagia telah berhasil menyakitiku seperti ini. Seolah-olah aku tidak pernah ada di dalam hidupmu. Seolah-olah aku tidak pernah membekas di hatimu. Semudah membalikkan telapak tangan, kau mengganti aku dengan dia. Tuhan, jika saja aku bisa menemuinya malam itu, aku ingin berteriak marah di telinganya. Aku ingin mengamuk di depannya. Aku ingin meludahi perempuannya. Seandainya... Seandainya...
Tapi aku bisa apa? Aku cuma bisa memeluk diriku sendiri. Menepuk-nepuk dadaku agar sakitnya sedikit berkurang. Menjambak rambutku agar sakit di kepala hilang segera. Menutup mulutku agar tangisku tidak terdengar kemana-mana. Sungguh, hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaanku malam itu.

Kenapa? Kenapa semua harus menamparku sesakit ini? Jika aku salah, kenapa tidak memberitahuku? Kenapa tidak memperbaikiku? Kenapa harus mencari orang lain untuk mendapatkan itu?
Jika aku membosankan, kenapa tidak mengomunikasikannya denganku? Kita bisa melakukan apa saja untuk mengusir kebosanan. Kenapa harus singgah di hati yang lain untuk mendapatkan sesuatu yang baru? Kita masih bisa melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan selama ini. Bukankah itu akan membantu?
Jika aku membuatmu marah, kenapa tidak balik memarahiku? Beritahu aku, nasehati aku. Kenapa harus mencari yang lain untuk menghukumku? Tahukah kau bahwa ini benar-benar menusukku?
Tuan, aku lebih rela dimarahi setiap hari, daripada harus menanggung perasaan ini. Mungkin bagimu ini biasa saja. Mencari penggantiku bukan masalah. Menyakitiku adalah hal lumrah. Tapi buatku, ini bentuk trauma yang entah sampai kapan aku bisa menyembuhkannya.

Entahlah.
Bahkan sampai saat aku menuliskan ini, tanganku masih sama gemetarnya seperti malam itu. Hatiku masih sama sakitnya seperti waktu itu. Dan aku hanya bisa memeluk semua rasa sakitnya. Menikmati setiap ingatan yang membunuhku pelan-pelan. Hingga aku sadar akan satu hal, kita semua akan dicampakkan pada waktunya. Kita semua akan ditinggalkan meskipun kita tidak siap. Kita semua akan diabaikan meskipun kita tidak terima.

Orang-orang brengsek memang selalu ada.
Begitulah cara kerja dunia.

[Medan, 21.35]

Sudah Hati-Hati, Tetap Saja DikhianatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang