Chapter 2

15 4 2
                                    

Uhuk...uhuk....

"Ayah sakit?" khawatirku
"Ayah tidak apa-apa"
"Hari ini Ayah istirahat aja. Biar Ara sama Aya yang jualan"
Ayah mengangguk setuju.

Tiga hari belakangan ini aku mendengar Ayah batuk dan wajahnya juga sangat pucat.

Siang 12:35

"Bagaimana keadaan Ayah?"
Ayah tersenyum kepadaku seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Gimana jualannya hari ini nak?" Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah, laku enam bungkus yah"
"Alhamdulillah"
"Kita pergi periksa aja ya yah"
"Tapi uang dari mana nak?"
Aku terdiam.
"Ara permisi ke kamar dulu yah"
Aku pergi ke kamar ku buka lemari dan kuambil celengan ala kadar yang kubuat sendiri dari toples bekas wafer.

Dua ribu...lima ribu...sepuluh ribu..lima belas ribu...empat puluh.......sembilan tujuh ribu..

Aku meneteskan air mata. Kecewa sekaligus menyesal.
"Maaf yah, uang tabungan Ara ga cukup buat Ayah periksa ke dokter" lirihku.
Ditambah tanggal 15 nanti aku harus bayar uang sewa kosan. Sudah dua bulan nunggak tidak bayar.Tapi, uang yang tersisa hanya sembilan puluh tujuh ribu.

Nasi bungkus yang ku jual tidak selaku seperti sebelumnya, 2 bulan belakangan ini tiap harinya  hanya sekitar dua sampai tujuh bungkus yang laku. Mungkin, kebanyakan orang akan memilih membeli nasi di tempat makan atau restoran yang sudah terjamin kebersihannya. Apalagi sekarang era pandemi covid-19. Orang-orang pasti khawatir membeli nasi bungkus sembarangan. Mungkin itu penyebabnya.

Hari berlalu begitu saja....
Namun penyakit Ayah masih saja belum sembuh, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Kini ayah semakin lemah, dadanya juga sering sakit dan terkadang batuk disertai darah. Ayah hanya mengkonsumsi pil batuk yang kubeli di apotek.

Malam 28 September jam 22:35

Uhuk....uhuk...

Suara batuk Ayah membangunkanku, sementara Chayra masih tertidur pulas.
"Minum yah" aku menyodorkan air putih ke Ayah
"Yah? Ayah sesak nafas?" Aku melihat Ayah memegangi dadanya dan nafasnya terengah-engah.
"Yahhh?" Ayah masih memegangi dadanya
"Sakit ya yah. Maafin Ara ga bisa beliin Ayah obat yang bagus" aku menangis.
Ayah menghapus air mataku dan tersenyum lalu memegang kedua tanganku.
"Jaga adik kamu ya nak maafin Ayah tidak bisa memberikan kehidupan yang layak buat kalian" ucap ayah dengan suara serak dan putus-putus
Aku mengangguk.
"Ara ga minta apapun dari Ayah. Ara udah bahagia dengan keadaan kita saat ini" Seraya aku menunduk mencium tangan Ayah.
"Laa..ilaa..haillallah..." lirih ayah
Aku masih menciumi tangan Ayah sambil menangis. Setelah aku mendongak ternyata ayah sudah memejamkan matanya.
"Ayah tidur?""Yah"?
Kugoyangkan sedikit tubuhnya tapi tidak ada respon.
"Yahhhh?" Teriakku
"Ayahhhhhhhh?"
Ku periksa nafasnya, tidak ada.
"Argh.....Ayahhhhhhhhhhhhh"
"Kenapa Ayah ninggalin Ara sama seperti Ibu"
"Yah bangun......hiks...hiks.."
Chayra terbangun dan mengucek kedua matanya
"Ayah tenapa kak? Tok Ayah ndak belgelak?" tanyanya. Namun tak kupedulikan. Aku hanya menangis hingga kedua mataku bengkak.

Pagi hari jam 7:00

Petugas khusus yang bertanggung jawab atas jenazah sudah selesai memandikan Ayah, tidak ada orang yang datang melayat dikarenakan harus mematuhi protokol kesehatan.

Jam 8:15

Jenazah Ayahsudah selesai dimakamkan. Hanya ada aku dan Chayra di sini.
"Yah kenapa ayah pergi? Kenapa ayah ninggalin Ara sama Aya?"
"Ara takut yah"
Kini aku bersimpuh di makam ayah. Sesak di dadaku semakin terasa. Kini, ayah pergi meninggalkan kami. Untuk kedua kalinya kami harus kehilangan sosok yang sangat kami cintai.

"Tuhan pasti sangat sayang sama Ayah, sehingga Dia memanggil Ayah hari ini. Sampai jumpa di syurganya Allah ya yah. Nanti kita kumpul di sana sama Ibu juga"
"Ara sama Aya pamit pulang Assalamu'alaikumm"

5 minggu kemudian..

Jujur, sampai hari ini aku belum bisa merelakan Ayah. Ini terlalu berat buatku. Lukaku masih menganga tapi kini Engkau mengujiku lagi.
Andai orang lain tahu aku tidak sekuat dan setegar yang mereka pikir. Tiap malam aku menangisi nasib burukku dengan malam sebagai saksi bisu.

Aku seperti kehilangan semangat. Tidak ada senyum yang terukir di bibirku, hanya ada wajah datar dan kusut yang tiap hari aku tampakkan. Sulit rasanya harus berpura-pura biasa saja padahal aku sedang terpuruk, karena aku tidak pandai dalam hal berpura-pura.

Bolehkah aku bertanya kapan "bahagia" itu datang menyapa?. Kenapa hidupku kini setia berada di fase semenyedihkan ini. Tak sedikit orang-orang memandangku dengan tatapan aneh. Khusunya geng Emak-Emak rempong tukang gosip dekat kosanku.Mereka selalu menjelek-jelekkanku setiap aku berpapasan dengan mereka. Dan aku mendengar jelas tema perbincangan mereka, yang sudah pasti adalah aku. Suara mereka mungkin sengaja dikeraskan agar aku mendengar. PEDAS!!! Satu kata yang mewakili perasaanku waktu itu. Tanpa sengaja aku meneteskan air mata.

"Eh liat, bukannya itu anak rantau yang always keliatan murung ya"
"Iya ya. Satu kali pun saya ga pernah tuh liat dia senyum"
"Bahkan lo ya ibuk-ibuk, kemarin kan saya beli nasik bungkus ke dia dan tatapannya itu lho kusut banget"
"Kenapa sih dia?"
"Katanya sih Ayahnya meninggal"
"Ooooooo itu toh masalahnya" jawab beberapa ibu-ibu serempak.
"Halah, semua orang pasti pernah ngerasa kehilangan tapi ga pernah nih sampek se 'alay' dia".
" Si Nisa anak Bu Maya lho. Dia juga kehilangan ayahnya kan. Bahkan kejadiannya baru satu minggu yang lalu. Tapi perasaan sekarang dia happy-happy ajah deh. Ga kayak si itu"  menyindirku.
"Anaknya aja yang berlebihan"
"Iya" salah satu dari mereka mengiyakan
"Dia nya aja sok soak an masih ngerasa sedih. Wong kejadiannya udah lama" Lanjutnya.
"Keknya sengaja deh. Buat cari perhatian. Biar semua orang pada kasian sama dia"

Aku tersenyum miris mendengarkan setiap perkataan yang mereka ucapkan.Ya, Aku akui aku memang "alay". Mereka dengan mudahnya melontarkan kata-kata se tajam itu kepadaku, karena mereka belum pernah merasakan apa itu "kehilangan".

Sekitar jam 02; 00 malam. Aku terbangun. Sesekali kupejamkan lagi mataku agar rasa kantuk itu datang. Tapi nihil. Aku tidak bisa memejamkam mataku kembali. Aku pun bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu, kembali kurebahkan tubuhku di samping Chayra yang sedang tidur dengan nyenyak sembari memainkan ponselku. Ku buka apk Youtube sambil memakai earphone, aku ingin sekali mendengarkan ceramah singkat dari ust favoritku.

-UJIAN- Ku tekan judul video itu. Lalu dengan penuh kekhusyu'an aku mencoba memahami setiap untaian kalimat yang beliau ucapkan.
Ada satu kalimat yang berhasil membuat hatiku terenyuh.

" Kenapa Allah selalu menguji kamu dengan ujian yang berat? Kenapa tidak orang lain saja yang di uji?
Jawabannya singkat, Karena Allah tahu kamu kuat! Dan orang lain belum tentu bisa sekuat kamu untuk berada di posisi mu saat ini".

Deg

"Dia saja yang menciptakanmu dan memberikanmu kehidupan yakin kamu bisa melewati ujian ini. Lantas kenapa kamu masih ragu?" Lanjut beliau

Hatiku meringis, mataku berkaca-kaca. Aku terdiam. Hanya ada suara tangis yang terdengar  saat itu.

MOHON MAAF APABILA ADA TYPO ATAU KESALAHAN APAPUN ITU🙏


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ini Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang