• Nugraha •

142 17 25
                                    

Café Sunyi, menjadi pilihan Nugraha untuk berbicara dengan Dira. Tempatnya tidak ramai juga tidak bagus seperti café mahal biasanya. Hanya sebuah bangunan tua yang diubah menjadi café sederhana, tapi anehnya tidak ada satu pun pengunjung yang datang. Mungkin ada, Nugraha dan Dira adalah pengunjung pertama.

“Kenapa disini, Nug?”

“Lebih tenang dan nyaman.”

Dira mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang sudah ia anggap kakaknya sendiri selama dua tahun ini.

“Sesuka itu ya kamu sama sepi? Apa mereka menyenangkan, Nug?”

“Kamu akan nyaman dengan mereka jika kamu menyukainya Ra, kalau tidak, pasti bakal nyakitin diri kamu sendiri.”

“Jadi kamu suka sepi?”

“Suka.”

“Karena?”

“Menyenangkan.”

Dira menghembuskan nafasnya, bertanya
dengan Nugraha itu layaknya memutari lingkaran yang sama walau tujuan kita berbeda.

Tapi sudahlah, perihal pertanyaannya mengenai sepi itu biarkan menjadi tanda tanya besar pada isi kepalanya. Sekarang atensinya beralih pada café yang tidak pernah dikunjunginya, café ini sangat sepi bahkan sampai mengalahkan sepi di sekitar kos-annya.

“Kenapa tidak ada orang sama sekali, Nug?”

“Mungkin orang jaman sekarang lebih memilih café mahal dan mewah dengan minuman yang lebih enak dan kekinian, jadi café sederhana ini selalu sepi.”

“Pantes namanya café Sunyi.”

Mereka berdua masuk dan duduk di salah satu kursi di bagian ujung kiri. Tapi sebelum itu, Nugraha kembali bangkit untuk memesan dan Dira, gadis itu masih mengamati seluruh ruangan café itu, mulai dari dekorasi sampai interiornya. Sederhana, itu satu kata yang mewakili café itu.

Dari kejauhan Dira melihat Nugraha berbicara akrab pada barista café itu, layaknya dua orang yang saling kenal sejak lama. Lalu tak lama, Nugraha kembali sambil membawa dua cangkir kopi. Sudah bisa Dira pastikan bahwa kopi itu hanya mengandung sedikit gula, sehingga rasa pahit dari kopi lebih dominan.

“Kamu sudah kenal dengan baristanya?”

“Sudah.”

Nugraha membuka tas ransel hitam lusuh miliknya, lalu mengeluarkan sebuah buku sastra kesukaannya.

“Kamu sering kesini ya Nug?” Mungkin sejak menginjakkan kakinya di depan café tersebut, yang dilakukan Dira hanya bertanya, dan bertanya.

“Iya.”

Gadis itu kini diam, membiarkan Nugraha membaca buku sastra kesukaannya yang mungkin tidak akan pernah habis baginya karena tebal buku itu setara dengan tiga kali tebal buku paket sekolah matematika miliknya.

Dira melihat asap dari cangkir kopi miliknya, gadis itu memajukan tubuhnya untuk melihatnya lebih dekat, dan tak lama Nugraha berbicara.

“Tidak ada yang istimewa dari asap itu Ra, di depanmu saat ini hanyalah secangkir kopi panas dengan rasa yang pahit.”

Dira menjauhkan dirinya lalu menatap Nugraha yang meletakkan cangkir kopinya lalu kembali membaca bukunya dengan serius. Laki-laki yang berusia 17 tahun itu nampaknya sangat berambisi untuk menelusuri dunia sastra. Sekarang isi kepala Dira kembali berpikir tentang perihal sepi, hal itu masih menjadi teka-teki untuk dirinya sendiri. Dua tahun dirinya mengenal sosok Nugraha, tapi ternyata dua tahun belum cukup untuk mengenal laki-laki itu.

NugrahaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang