0. Prolog

26 2 0
                                    

Pernah ada di bayangan gak naksir sama tetangga depan rumah rasanya kayak apa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pernah ada di bayangan gak naksir sama tetangga depan rumah rasanya kayak apa?

Kalau ada pertanyaan itu dengan lantang akan gue jawab gak ada.

Seumur gue hidup di bumi, gak pernah sekalipun gue mengerti kenapa orang dewasa sangat mengagungkan cinta dan kasih terhadap pasangan. Banyak banget pertanyaan yang dateng di otak, salah satunya adalah cara nemuin pasangan. Gue sampe nggak habis pikir aja menjadi manusia dewasa ternyata serumit ini.

Kata orang, gue ini anaknya supel dan gampang berbaur. Nggak tau turun dari Mama atau Papa tapi Kakak sulung gue juga begitu, eits pengecualian untuk Kakak tengah dia bukan nggak gampang bergaul cuma sedikit pemilih aja.

Gue hidup di lingkungan yang asik banget disalah satu komplek di ibukota. Dari awal, beberapa rumah di blok yang gue tempatin emang udah sengaja diatur biar bisa ditinggali oleh Mama, Papa dan koleganya. Iya awalnya begitu tapi lama kelamaan malah menjadi keluarga ya namanya juga tetangga.

Kalau gue sebutin satu-satu perihal orang yang tinggal di komplek ini rasanya terlalu membuang waktu. Kayaknya 10.000 kata gak bakal cukup untuk mendeskripsikan semua. Tapi, gue akan mengerucut pada satu nama. Nama yang diam diam gue sebut dalam doa sejak dulu kala, mungkin bisa disebut cinta pertama? Ah, entah. Gue belum ngerti cinta pada masa itu. Lagian dia juga belum tentu cinta gue dih geer banget!

Dia adalah Jevano Ardya Aryasatya, pria yang sudah gue kenal diseluruh umur yang gue punya. Pria ganteng dengan senyuman berbentuk bulan sabit paling indah yang pernah gue lihat dan bakal selamanya jadi favorit gue.

Seperti arti namanya, Jevano. Seorang yang memiliki tekad yang kuat, seseorang yang tidak pernah main-main dengan mimpinya, seseorang yang akan berjuang sampai titik darah penghabisan demi menggapai sesuatu yang dia inginkan. Dan itu semua benar adanya.

Awalnya, gue mengira Bang Jep orang yang biasa saja, menjadi dokter adalah pilihannya. Gue bangga ketika dia dinyatakan masuk kedokteran di universitas ternama negeri ini. Diam-diam gue tersenyum untuknya. Gue udah mulai sadar Bang Jep berada jauh di depan gue. Gimanapun caranya gue gak bakal bisa mendampingi dia. Eden yang nggak punya mimpi, Eden remaja tanggung yang membiarkan semua mengalir mengikuti alur Sang Pencipta.

Pernah, sekali gue dan Bang Jep berada di satu titik frekuensi. Tapi nggak berlangsung lama, semua ekspektasi gue dihancurkan oleh realita. Mas Haikal pacaran sama Oca. Oh holy shit! Mas Haikal kakak sulung gue dan Oca adik tengah Bang Jep.

Mendengar berita itu membuat gue harus tersenyum dalam luka. Tersenyum untuk kebahagiaan kakak tercinta dan terluka untuk perasaan sendiri. Secepat mungkin gue harus mengubur semua rasa yang ada. Gue bahagia kok lagian kan gue gak pernah tau perasaan Bang Jep kayak apa.

Semuanya menghantam gue dengan bertubi-tubi. Gak berlangsung lama Bang Jep pergi semakin jauh. Persimpangan yang tadinya gue rasa sedekat itu ternyata nggak pernah ada. Lagi, gue harus tersadar oleh realita kalau Bang Jep nggak lebih dari tetangga depan rumah dan anaknya sahabat Mama.

Edena remaja jadi makin banyak belajar tentang hidup. Tentang bagaimana berpura-pura baik-baik saja untuk menutupi luka itu nggak apa-apa. Gue jadi belajar lagi mungkin ekspektasi gue terhadap Bang Jep nggak harusnya seperti itu, mindset gue harus diubah. Mulai saat itu gue memberanikan diri melihat dunia lebih luas lagi.

Mas Haikal dan Oca putus dalam kurun waktu enam bulan, tapi itu nggak membuat gue dan Bang Jep membaik seperti semula. Justru gue ngerasa semakin jauh akhirnya gue membuka hati untuk seorang lelaki yang berani menatap gue sebagai orang yang spesial. Lucunya, dia beda banget dari Bang Jep. Dari hal simple, matanya. Kalau Bang Jep punya mata seperti bulan sabit, kalau Kak Dery matanya belo. Bang Jep yang kalem dan Bang Dery yang gak bisa diem.

Singkat cerita, semuanya kembali gak sesuai dengan realita. Patah hati selanjutnya yang gue rasa adalah harus merelakan perasaan gue buat Kak Dery. Gue gak bisa menjalani hubungan jarak jauh. Kak Dery memutuskan untuk exchange ke Jepang. Gue kembali menjadi Edena yang mengubur rasa yang gue punya untuk seorang lelaki.

Disaat gue sedih dan terpuruk merelakan perpisahan dengan Kak Dery disaat yang bersamaan Bang Jep kembali datang dengan senyumnya. Dengan bodohnya orang pertama yang gue liat pas gue putus adalah Bang Jep. Bodoh! Bisa-bisanya gue nelpon Bang Jep padahal gue punya dua kakak?!

Lambat laun, semua berjalan seperti seharusnya. Gue nggak lagi ngerasa begitu kehilangan sosok yang sempat menggantikan Bang Jep walau hanya sesaat.

"Kalau gak siap kehilangan jangan punya perasaan."

Sarkasme dari Bang Jep yang selalu mengingatkan gue tentang makna hidup. Salah satu makna hidup itu kehilangan. Siap nggak siap semuanya akan menghilang. Waktu silih berganti begitu juga hidup.

Gue jadi sadar betul kalau selama ini gue belum siap punya perasaan. Baru ditinggal bentar aja udah segini terpuruknya.

Lama kelamaan gue jadi sering cerita sama Bang Jep, malah lebih deket dari sebelumnya. Ternyata ada banyak sisi dari Bang Jep yang nggak gue tau selama ini.

Salah satunya adalah cita-citanya menjadi seorang perwira negara alias tentara. Impiannya yang satu itu sudah jelas-jelas ditentang oleh Om Dira tapi Bang Jep malah tetap mengejar mimpi itu secara diam-diam dengan gue disisinya yang selalu siap mensupport dan mendengar segala ceritanya.

Gue sempat menepi. Menjauh dari hingar binar seorang Jevano hanya untuk mencari tau apakah Bang Jep masih ada di hati gue atau nggak. Tapi ternyata niat gue untuk menepi tuh kayaknya gak direstui Tuhan deh. Entah bagaimana Bang Jep ngerecokin gue dengan masalahnya. Malem-malem gue di telfon, ya kaget lah. Ternyata dia curhat. Dia bingung mesti gimana. Habis berantem sama Om Dira soal keinginannya berhenti kuliah kedokteran dan memilih masuk ke militer.

Gue kasihan. Perasaan gue jadi tak menentu antara pengen maju tapi pengen mundur juga. Gue gak tega ninggalin dia sendiri. Dari nada ngomongnya aja gue bisa tebak dia sefrustasi itu.

Akhirnya gue putusin untuk tetap di samping dia tapi dengan catatan gue gak boleh berharap lebih. Gue berusaha menatap Bang Jep seperti gue menatap abang-abang yang lain. Walaupun gagal total.

Gue tuh ngerasa pengen aja terus bareng Bang Jep. Pengen bercerita panjang lebar, pengen denger keluh kesahnya, pokoknya pengen tahu apa aja yang terjadi dihidupnya selama 24/7.

Parahnya, gue gak ngerti Bang Jep kok ngelakuin hal-hal yang gue pengenin ya. Entah dia sadar atau gak.
He acted like he could read the contents of my mind and my heart. Kan gemes. Gue jadi berpikir yang iya-iya kan. Kala itu.

Singkat cerita, akhirnya Bang Jep lulus seleksi akmil. Tante Al ngabarin  nyokap gue. Ya gue juga sadar gue belum berhak tau informasi tentang Bang Jep secepat itu karena gue bukan prioritasnya.

Sehari sebelum Bang Jep pendidikan, dia ngajak ketemu. Padahal gue udah pengen nangis aja karena semaleman gue searching pendidikan di Akmil kayak apa.

Bang Jep udah excited banget. Gue bisa liat dari sorot matanya dia sebahagia itu bisa menggapai bintangnya. Gue kembali jadi orang yang diam-diam berdoa supaya Bang Jep baik-baik aja.

Satu pertanyaan terus memenuhi otak gue. What should I do? Wait for him or not?

TIGA SORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang