Gemuruh petir mulai menggelegar di angkasa meneteskan air mata dari sebuah kepulan awan-awan hitam yang turut membasahi Bumi. Tempatku masih sama, berada di atas pijakan sebuah aspal dengan sepatu hitam bercorak putih polos. Saat kusadari ia telah datang, kupalingkan wajah ini untuk menatapnya, namun ternyata itu hanyalah sebatas perasaanku saja. Berandai dia ada di sini, berdiri di bawah sebuah atap rumah kecil guna melindungi diri dari serangan-serangan hujan yang datang membawa pasukannya.
Hatiku terasa pilu saat kuketahui ia cukup senang bersama orang lain selepas menyelesaikan kewajibannya pada sebuah tempat di mana orang mengobati dirinya. Sang pihak lain itu, ya, ia bisa mewakilkanku untuk melaksanakan sebuah tugas yang seharusnya kulakukan, tetapi tidak bisa kutepati.
Terkadang rasa panas hati itu datang, dari bilik layar ketikanku memaparkan sebuah ekspresi kekecewaan mendalam. Namun, jikalau aku harus marah, apa titik baliknya akan membuat ia tidak terbakar lagi di bawah terik sang mentari? Aku yakin tidak, terkecuali kukirimkan sebuah pelayan khusus di mana ia akan bertugas mengantar sang putri untuk pulang menuju istananya.
Setelah kupikir lebih dalam, aku ingin merasa cepat-cepat terbebas dari belenggu pendidikan, mencoba melangkah sedikit demi sedikit untuk menggapai pengakuan pria dewasa. Aku ingin berada di sampingnya, berdiri di depan sebuah bangunan besar bersama kereta kuda pribadi guna menunggunya datang. Lalu kujulurkan lengan ini sebagai penyambutan untuk sang putri, dan mengantarnya pulang dengan selamat, tanpa harus mengorbankan apapun, dan tanpa diwakilkan oleh siapapun.
Biarlah semua berjalan sesuai arusnya, melarangpun rasanya tak sanggup, meskipun terkadang hati ini tak rela dan terkoyak sedikit demi sedikit hingga membentuk partikel terkecil yang tak kasat mata lagi.
Lee Yurani
Jakarta, 15 Juni 2017