04 : Ironi

45 8 0
                                    

"Kenapa saya masih harus menanggung rasa sakit jika dengan mengingatmu saja mampu membuat rasa sakit itu datang dengan sendirinya."

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Hujan beberapa waktu lalu masih meninggalkan jejak seolah kehadirannya ingin diperhatikan orang-orang. Genangan air yang memantulkan bayangan langit ingin memberi tahu mereka jika ia akan kembali ke atas sana lalu turun lagi sebagai hujan di lain waktu.

Kawanan burung gereja yang bertengger di dahan pohon kamboja berkicau menyambut sang matahari yang kembali menunjukkan jati dirinya. Permukaan tanah yang masih basah membawa aroma petrikor yang menenangkan hati.

Hujan yang berhenti rupanya malah membawa tangis seorang pria yang kini tengah terduduk di samping sebuah gundukan tanah. Kedua tangannya terulur, mengelus lembut sebuah batu nisan yang terasa kasar. Meski tak bersuara, ia berteriak kencang di dalam hatinya bersama cairan bening yang tak henti-hentinya menjatuhkan kesedihan.

"Maafin Ares ... maafin Ares yang nggak bisa menepati janji," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca memandang batu nisan itu nanar.

"Saya selalu merasa bersalah, saya merasa sakit setiap kali mengingat kamu yang harus menderita." Kedua mata Ares melirik ke arah pergelangan tangannya. Sebuah bekas sayatan melintang tepat di bawah nadinya. Saksi bisu atas percobaan bunuh diri yang pernah ia lakukan.

"Bahkan saya tidak tahu harus berbuat apa setiap kali melihat wajahnya. Apakah saya harus ikut denganmu juga?" Tubuh Ares bergetar hebat mencoba menahan tangis yang bercampur amarah. Dirinya terbenam dalam kesedihan yang semakin menggores hati.

Bahkan kematian gadis itu sudah terlampau dua tahun lamanya. Namun, setiap detiknya justru membuat sayatan-sayatan kecil yang kian membesar di hatinya. Oksigen yang seharusnya memberi napas, berganti menyesakkan napas setiap kali ia melihat makam itu.

"Seharusnya saya bisa melindungi kamu dari pria bajingan itu, Michelle."

Kesalahan terbesar telah Ares tetapkan. Ia tidak seharusnya membiarkan gadis itu mati. Ia merasa bersalah karena tidak mampu membuat nyawa itu kembali ke raganya. Ya, nyawa tidak bisa dibeli.

Usai dengan tangisnya pria itu bangkit setelah mengecup nisan yang ada di depannya, mengasakan agar yang di dalamya bisa tenang di sisi Tuhan.

***

Ares melangkah lemah menuju sebuah hunian yang selalu membawanya kepada penyesalan. Sebuah rumah tua yang menyimpan banyak kenangan.

Kedua kakinya mencecah pekarangan rumah yang tumbuhannya layu tak terawat. Hatinya seolah menolak jika tempat yang dulu penuh tawa berubah menjadi sunyi tak bersuara.

Mise-en-scène [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang