(Announcement guys, kayaknya gaya bahasa bakal ganti deh. Untuk narasi baku dan dialog non-baku. Wkwkwk Mon maap untuk ketidak konsistenannya.).
.
.Happy reading ✨
Lelaki itu tersenyum lembut, dalam tatap matanya terlihat sebuah kehangatan yang luar biasa menenangkan. Bisa Minami rasakan getar luar biasa yang menyengat setiap syarat dalam tubuhnya.
"Lo udah berapa tahun jadi dokter disini?" Tanya Hiro berbasa-basi, dia kembali menatap luas laut biru yang terhampar disana. Burung camar berterbangan dengan pola acak dan sembarangan. Minami menoleh, entah kenapa jantung mulai tidak bisa di ajak bekerja sama setiap melihat lelaki ini. Huh! Ada apa sih?!
Dia terdiam beberapa saat, seolah mengingat. Berapa lama ya, dia mencoba menghitung, satu, dua atau berapa? "Entahlah, kalo gue gak salah mungkin hampir dua tahunan." Jawab Minami pasti, Hiro mengangguk paham sebelum kembali bersuara
"Memang berapa usia lo?"
"Dua puluh empat?" Hiroki mengernyit dahi sedikit heran, nada tidak yakin Minami cukup mengusik dirinya. Memang seberapa sibuk dokter jiwa sampai lupa berasa jumlah usianya?
Hiroki tidak mau ambil pusing, "lo lebih muda satu tahun dari gue." Jawabnya pelan, mempertemukan punggungnya dengan sandaran bangku di taman itu.
"Kayaknya lo mulai nyaman ngomong sama gue." Minami sedikit mengejek pria disampingnya, sebelum mengikuti apa yang pria itu lakukan.
Hiro mendengus, benar, tentu mudah bagi Minami membaca gerak geriknya. Dia seorang dokter psikolog jika kalian lupa.
"Lo mirip sama seseorang yang tadi gue temuin."
"Siapa?"
"Entah gue juga gak tahu, tapi dia tampan. Matanya tajam dan aura intimidasi yang kuat."
". . ."
". . ."
"Little bit information, gue punya saudara cowok."
"Apa mungkin dia sodara lo? Ah, kayaknya bukan. Aura kalian jauh berbeda." Hiroki tertawa pelan, Minami yang bertanya tapi dia sendiri juga yang menjawab. Membuatnya terlihat, lugu, polos, dan . . . Menggemaskan?
"Mau mendengar sebuah kisah?"
"Apa itu menakutkan?" Tanya Minami pelan, matahari tidak bergerak diam, dia berputar dan tanpa terasa dia sudah hampir tenggelam. Menyebarkan ruak senja yang menjingga di luas cakrawala. Desah angin yang berhembus menerpa mereka berdua, menerbangkan anak rambut yang sesekali jatuh kedepan wajah keduanya.
Hiroki terdiam, sedikit terpaku pada wajah Minami. Terlalu indah, sinar matahari begitu lembut mengenai wajahnya. Membuat dirinya seperti lukisan yang hidup. "Entah, itu tergantung gimana persepsi lo nanti." Jawabnya sambil tersenyum.
"Selagi bukan pembunuhan dan hantu, gue gak takut."
Senyuman Minami menular pada lelaki yang duduk dan tak henti menatapnya, kembali membuat dadanya bergemuruh. "Baiklah dengarkan dengan baik," kata Hiroki lembut.
"Okay,"
"Saat itu, ada seorang anak yang tumbuh dengan bahagia. Tapi, dia terlalu polos dengan pemikirannya. Beranggapan bahwa dunia ini seindah dongeng yang sering di bacakan setiap malamnya. Dia tidak tahu, apa yang orang-orang tuliskan dalam dongeng hanya sebuah bualan paradoks yang justru berbalik dengan kenyataan, kekejaman dan kegilaan di dunia ini. Dia pikir, dia adalah anak yang paling bahagia. Keluarga yang lengkap, kekayaan yang berlimpah dan dua orang kakak yang menyayangi dirinya dengan begitu sangat. Lo pikir, apa yang kurang?"
"Kasih sayang?" Jawab Minami ragu, Hiroki tersenyum sebelum melanjutkan.
"Perhatian dari orang tua."
"Orang tuanya menyayanginya, tapi tidak memberi perhatian. Itu kayak lo makan tapi hanya dengan nasi tanpa lauk. Orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan mereka. Ayahnya yang seorang pemimpin perusahaan dan tokoh politik, ibu yang sibuk dengan drama amal sosialita demi sebuah sanjungan. Dia tidak tahu, bagaimana rasanya dipeluk ayah saat dia ketakutan akan mimpi buruk, atau betapa lezatnya makanan ibu yang sederhana. Hanya para kakaknya yang selalu ada."
". . ."
"Tapi, ayahnya tidak mengerti. Dalam pemikirannya hanya bagaimana gelar orang terkaya itu tidak hilang dari nama belakangnya. Saat itu anak itu tidak mengerti, dia hanya tau bahwa kakaknya yang tertua tidak bisa lagi bermain seperti biasa. Dia sedih, tapi kakaknya yang kedua menghiburnya terus menerus dan membuat anak itu kembali ceria. Hingga suatu kejadian, sebuah tragedi merusak segalanya. Dan saat itulah, anak kecil itu tahu. Jika, keluarga miliknya memang tidak sebahagia pemikiran polosnya. Ibunya menjadi pemurung, ayahnya berubah menjadi kasar. Meski itu tidak di tunjukkan pada anak kecil tadi, tapi dia melihat dan mendengar segala dalam rumah terkutuk itu. Ibunya berubah, dia menjadi lebih sering di rumah. Memasakkan makanan dan membantu anak kecil itu mengerjakan tugas. Tapi, anak itu tidak, ah belum cukup mengerti. Sampai akhirnya, ibunya menjadi sosok yang tidak ia kenali. Selalu menangis dan menjerit. Meneriaki semua orang yang dia lihat. Tidak mengenali semua orang, bahkan anaknya.
Anak kecil itu hanya diam, dia menatap Takut pada ibunya. Dia ingin membantah, tapi bagaimana? Sampai dia cukup besar untuk mengerti bahwa ibunya terkena gangguan mental karena trauma hebat dan depresi yang tak kunjung berhenti. Saat itu usianya baru menginjak enam belas tahun. Dan dia harus menerima kenyataan jika ayahnya tidak peduli— sama sekali. Seolah membiarkan desas-desus yang berhembus soal ibunya yang wafat memang benar adanya. Lagi-lagi, itu demi uang, jabatan, dan kekuasaan. Dan sejak itulah, anak kecil itu benci akan uang, jabatan dan kekuasaan. Dia benci karena faktanya, ketiga hal itu bisa menjadikan jiwa seseorang menjadi iblis tak memiliki nurani. Dia benci menjadi lemah, dan benci kenyataan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa."
Hiroki menutup ceritanya dengan senyum miris, dia memejamkan matanya, menikmati angin yang berhembus dengan pelan dan tenang. Keadaan yang membuatnya benar-benar nyaman.
"Itu, cerita yang . . . Menyakitkan."
"Ya."
Hening kembali. Minami menatap kosong ujung heels hitam yang dia kenakan. Cerita Hiroki membuat dirinya mengingat masa kelam yang dulu dia lalui. Bagaimana segala hal yang terjadi begitu cepat namun rasa sakitnya yang tersisa begitu seolah mengakar hebat dan lama akan sembuh.
"Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah takdirnya, tapi dia bisa membuat takdir berjalan sebagaimana keinginannya untuk berjalan."
Hiroki terdiam, memikirkan maksud dari kata-kata Minami yang sedikit sulit ia pahami.
"Anak lelaki itu tentu saja tidak akan bisa mengubah takdir. Tapi dengan usaha dan kemauan dia bisa membuat takdir berjalan seperti keinginannya. Anak lelaki itu hanya perlu tekad kuat dan tujuan pasti. Gue yakin dia bisa membuatnya menjadi lebih baik."
...
Takdir manusia memang sudah di tentukan sejak mereka masih dalam kandungan. Tapi, dengan kerja keras dan kemauan manusia bisa merubah takdir itu.
.
.
.
...
See you in next Chapter
Satu-satunya jodoh Takahiro Moriuchi✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence
Narrativa generaleAmbitions, hatred and love. Cover by : @honey_10969 Present © Princessayinghua - 2020, 27 Oktober