Chapter 3

19 14 39
                                    


     Bandung, 28 Desember 2020.

     Irene sedikit tertohok dengan apa yang Edith lukis, itu benar-benar indah. Hampir saja Irene menahan napas dan membulatkan mata penuh, namun Edith menoyor keningnya dengan ujung kuas hingga Irene meringis kesakitan.

     Edith menyilangkan tangannya di depan dada, matanya menajam dengan halis sedikit tertekuk. "Jangan menghina lukisanku! jangan kau tatap dengan tatapan dengan isyarat menahan tertawa seperti itu. " ucap Edith dengan menekan setiap suku kata pada kalimatnya.

     Irene menggelengkan kepalanya pelan dengan langkah yang mundur satu langkah. "Lukisanmu sangat indah, seperti lukisanmu yang lain, indah sekali. Tapi, kenapa kau melukis perut kotak-kotaknya saja? " tanya Irene dengan nada merendah, karena dia takut jika membuat Edith marah, waktu itu pernah, semua barang mahal di apartemen ini hancur berserakan di lantai hanya karena waktu itu Irene mengatakan bahwa kuas lukis milik Edith hilang. Menakutkan.

     Edith terdiam beberapa saat, ia menatap Irene penuh selidik. "Apa yang kau katakan ada benarnya juga, aku akan melukis kepala dan ***nya juga. Dan sekarang aku akan melorotkan celana pendeknya. " ucap Edith membenarkan ucapan Irene barusan.

     Irene berjalan ke arah Adict secepat yang ia bisa, tangannya membentuk huruf X di depan dada. "Biarkan aku melukis ***nya. Atau..." Edith berjalan menuju sudut ruangan dan menarik sebuah koper merah penuh bercak darah. Dia tersenyum jahat, "...Dia akan kubunuh! "

     "Tidak, jangan mengulangi kejadian beberapa minggu ke belakang, Edith! kau ingat, sudah 5 remaja laki-laki kaya sudah kau bunuh, dan mayatnya kau buang di saluran air. Apakah kau akan terus melakukannya hingga rasa bosanmu hilang? iya? "

     Edith mengangguk mantap dengan tangan yang sibuk ingin membuka isi koper merah itu. "Kenapa, kau tak suka? " tantang Edith dengan tangan yang sudah memegangi sebilah pisau. "Minggir atau kau yang akanku bunuh! " pekik Edith sambil melangkah menghampiri Sofa tempat Irene membela Adict.

     Melihat Irene yang masih tetap diam mematung di sofa membuat amarah dalam tubuh Edith semakin bergejolak. Dia mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di samping kanvas, "Awas! aku hanya ingin melihat celana dalamnya saja! dan aku akan melukisnya nanti. "

     Dengan sendirinya tangan irene melorotkan celana pendek Adict hingga terlihatlah celana dalam laki-laki itu. "Bagus, akhirnya kau membantuku juga. Ahaaha, " puji Edith sambil meletakan pisau di sebelah palet warna.

     Beberapa puluh menit berlalu, Irene hanya terdiam memperhatikan Edith yang sedang melukis celana dalam Adict sambil tersenyum tiada henti. Apakah ini hiburan untuknya? melecehkan seorang remaja laki-laki dengan sesukanya? dasar gadis aneh, pikir Irene.

     "Selesai. "

     Tangannya menjunjung tinggi lukisan itu dan di tempelkan pada dinding kosong ruangan itu. Irene berdecak, "Mana lukisan yang akan kau berikan padaku? " ucapnya penuh tanda tanya.

     Jari telunjuk Edith menyentuh kening seolah sedang berpikir, "Tidak ada. Ahhaha, " pekiknya dengan lantang dan itu membuat darah dalam tubuh Irene mendidih seketika. Tawa Edith pecah saat itu juga, ia tertawa hingga terpingkal-pingkal, sedangkan Irene memandangnya malas.

     Irene membanting pintu ruangan Edith kasar hingha menimbulkan suara benturan keras antara pintu dan tembok. Edith tak perduli, dia masih tetap tertawa renyah dan bahagia.

     "Dasar gadis aneh, menyebalkan! "

     Irene masuk ke dalam kamarnya, dan langsung menuju kamar mandi untuk menyejukan tubuhnya dan hatinya. Dia memilih masuk ke dalam shower room, dia menekan tombol air dingin lalu mulai menikmati setiap butir air yang membasahi tubuhnya. Ia meraih sampo, padahal niatnya bukan untuk keramas melainkan hanya untuk menyejuk kanbadan saja.

     Beberapa menit kemudian, Irene sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih selengan dan celana jeans coklat yang membuat penampilannya terlihat elegant. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan tubuhnya yang setelah berhari-hari kini berat badannya naik 1 kilogram.

     Rambutnya jauh lebih panjang di banding dengan rambut Edith yang hanya seleher saja. Sedikit terbesit dalam pikiranya untuk meniru gaya rambut Edith yang hanya seleher saja, ia kira akan ada banyak sekali keuntungannya jika ia memendekan sedikit rambutnya. Irene menghembuskan napas berat, biarlah urusan rambut menjadi masalah yang kesekian saja.

     Tiba-tiba saja ia teringat bahwa sudah hampi 1 jam dirinya berkutat di dalam kamar, ia lupa tak mengecek apa yang di lakukan Edith dan Adict di ruangan itu. Irene menyisir asal rambutnya lalu bergegas menuju ruangan Edith. Di depan pintu tidak ada suara apapun yang terdengar.

     Baru saja Irene akan melangkah jauh dari ambang pintu ruangan itu, suara pekikan Adict membuatnya kembali mendekati pintu itu dan mulai mengetuknya.

     "Arrgghh... "

     Suara itu semakin terdengar keras, Edith membunuhnya? pikir Irene dengan segala kemungkinannya. "Edith! apakah kau mengulanginya lagi? cepat buka pintu dan hentikan segala aktifitasmu! " pekik Irene dengan napas yang taj beraturan, jantungnya kini berpacu lebih cepat.

     Tidak ada balasan apapun, Irene mengetuk pintu ruangan itu dengan keras. Sudah beberapa menit ia mengetuk namun Edith masih belum membukanya, lutut kakinya melemas dengan air mata yang sudah menjadi bendungan di balik kelopak matanya. Ia terduduk lemas dengan kepala tertunduk menatap lantai.

    Beberapa puluh menit kemudian, akhirnya pintu terbuka dan Irene langsung meraih kerah kemeja Edith dengan sekali hentakan. Kemeja Edith penuh bercak darah segar berbau anyir, apakah Adict benar-benar sudah mati?

    "Apa yang kau lakukan? kau sudah membunuh 6 remaja laki-laki hanya karena kebosananmu! apakah kau tidak berfikir apa yang akan terjadi jika pihak kepolisian tahu tentang kejadian ini? aku akan melaporkanmu pada polisi. "

    Edith masih terlihat santai. Dia menatap rendah pada Irene yang sudah berani mengancamnya, "Kau kira, jika kau melaporkanku kepada polisi, apakah kau tidak akan terjerat juga? " dia menghela napas panjang. "Ingat, kau juga selalu membantuku. Kau yang membawa mereka padaku, bukan? jadi, jika aku terjerat polisi, maka kau juga akan sama terjerat. " sambung Edith dengan wajah yang sengaja menatap kemejanya yang penuh bercak darah.

    Irene terdiam, cekalan pada kerah kemeja Edith terlepas, ia, tak bisa berbuat apa-apa lagi, semua ada pada kembarannya itu. Dasar gadis menyebalkan!

    Edith menggiring Irene untuk masuk ke dalam ruangan itu. Terdapat banyak darah yang berceceran di lantai dan dinding ruangan. Sembilan tusukan pisau melubangi dada dan perut Adict. Edith mengangkat tangan sebelah Adict yang kini sudah meregang nyawa. Dia tersenyum simpul, "Sekarang, kau bantu aku memotong-motong tubuhnya dan kita buang di saluran air seperti korbanku yang sebelumnya. "

E⚫D⚫I⚫T⚫H

     Tega Banget ya, Edith.

     Setelah ini, apa yang akan terjadi selanjutnya?

EDITH : GADIS PEMBUNUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang