Halaman Dua puluh Tiga ;

3.4K 432 51
                                    

jeno sedikit menerka dan terkejut melihat mobil hitam SUV mirip milik ayahnya, terparkir di depan rumah nana. ia bahkan sampai menurunkan kaca mobilnya, melongokkan kepala. ternyata, ia tidak salah lihat.


mendadak, jeno merasa pening.

ia meremas kemudi nya dengan kerutan di alis. terlihat kentara sekali menahan emosi dan amarah, juga otaknya yang menebak banyak kemungkinan yang sedang terjadi dihadapannya. dalam hati, ia merapal banyak doa agar satu kali ini saja lagi, hidupnya akan diberi keajaiban dengan hal-hal yang baik.

pada akhirnya pemuda berumur 21 tahun lebih beberapa bulan itu mengembus napas panjang, sambil masih berusaha agar tetap tenang. hatinya bersuara, jika saja nandika sedang diperlakukan buruk saat ini oleh ayahnya, maka ia tak segan-segan untuk membalas dengan seluruh tenaganya.

yah, pengalaman pernah menjadi berandal sekolah itu cukup berguna juga.

sesaat setelah memarkirkan dengan benar mobilnya di samping mobil SUV hitam itu, ia buru-buru keluar dari mobil dan berjalan membuka gerbang.

setengah berlari kearah pintu, lalu dengan cepat membukanya. berhenti sebentar dengan napas memburu saat melihat kediaman sederhana nana yang sering ia tinggali itu seperti biasa saja. tak ada suara-suara bentakan atau apapun itu, yang sedari tadi jeno bayangkan. lututnya mulai melemas karena lega. samar ia mendengar suara televisi yang di nyalakan dan bising alat-alat dapur.

tunggu, tapi sepertinya ia salah sangka.

"nana? sayang? aku pulang ... "

jeno melangkah masuk lebih dalam pelan-pelan, masih setengah khawatir sebenarnya. lalu tiba-tiba saja yang netranya tangkap tepat saat melewati pembatas antara ruang depan dengan ruang televisi, napasnya hampir berhenti.

"angga? nak, sudah pulang?"

ayahnya ada di sana. duduk santai di sofa hadapan televisi, masih dengan setelan kerjanya yang rapi. kemeja putih dan celana hitam licin, sedangkan jasnya di lepas. yang membuat ia hampir sesak napas adalah---

lelaki paruh baya itu tersenyum teduh dan melempar sapaan hangat kepadanya. untuk pertama kali dalam 21 tahun ia hidup, baru kali ini ia begitu lega rasanya bisa merasakan kehadiran seorang ayah.

jeno masih membeku dengan lutut bergetar kala ayahnya berjalan menghampiri hingga kehadapan. masih dengan senyum yang tak pernah sempat ia lihat sedari dulu, membuat ia semakin pening karena ini lebih terasa seperti mimpi.

"a-ayah..." tenggorokan jeno mendadak kering, tercekat. buku-buku jari mendingin dan ujung jari bergetar, bersiap jika saja ini hanya sandiwara semata sebagai awalan dari siksaan yang biasa ia rasa dari sang ayah.

"k-ku bilang waktu itu, aku akan pergi walau kau tak menyuruhku. sekarang aku sudah jauh dari mu, yah. apalagi yang kau mau?"

sedikit sesak jeno berucap. begitu lirih dan pasrah, melepas segala kemungkinan yang bisa saja terjadi kepadanya. tak peduli mau diapakan, ia terlanjur lelah.

tunggu, dimana nana?

sekilas saja ia teringat bahwa perjodohan yang ayahnya rencanakan akan digelar esok hari.

ceritanya, nomin. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang