Halaman Empat ;

8.2K 1.1K 131
                                    

Seperti biasa, matahari pagi bersinar hangat. Biasnya lembut menerpa permukaan bumi. Bogor adem pagi ini, membuat para penghuninya pun jadi punya semangat baru. Sang Pencipta selalu punya cara agar para Hamba-nya tak lupa caranya bersyukur dan berterimakasih.

Jeno hari itu menginap pada akhirnya. Terpejam tenang mendekap tubuh ramping Jaemin. Saling memeluk erat tanpa jarak. Di temani kecupan dahi sebelum tidur, juga degupan kencang jantung masing-masing. Luka berdarah Jeno sudah di beri plester, dikecupi juga oleh Nana. Rindu yang sesak memenuhi relung dada dan paru pun terkikis. Intinya, rembulan pada langit pekat malam itu terasa lebih terang daripada malam-malam sebumnya. Dengan Jaemin ia merasa hidup.

Jaemin terbangun duluan karena cahaya hangat matahari yang menerobos lewat jendela. Lembut menerpa wajahnya. Mengerjap lucu, matanya terbuka kantuk. Sadar badannya masih erat dalam pelukan. Seketika menaikkan pandangan ke atas, mendapati wajah tampan Jeno yang menyambut di pagi hari.

Diam-diam Jaemin tersenyum. Ah, sosok Jeno terlalu tampan di banding apapun.

Bahkan di saat wajahnya terlihat sedikit buruk--- dengan dua luka berplester di wajah dan lebam di rahangnya.








Lima menit ia bertahan dalam posisi itu. Matanya sudah terbuka dan sadar penuh, namun sama sekali enggan untuk beranjak. Jarinya sibuk membentuk pola acak di atas dada telanjang kekasihnya, ia merona sendiri lihat perut Jeno yang kotak-kotak. Ya ampun, padahal ia hampir setiap hari memandangi Jeno tanpa atasan seperti ini--- bahkan tanpa atasan-bawahan pun pernah.




































Matanya tak henti menatap pahatan seni terindah macam Jeno. Jam di laci samping ranjang menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Masih pagi, lagipula Jeno dan dirinya tak ada jadwal kelas atau kegiatan penting. Jari-jari kecilnya masih asik bergerilya. Kini dari dada berpindah ke rahang yang ada bekas keunguan; di sentuh sayang. menyentuh iseng hidungnya yang kelewat mancung. Di tekan-tekan halus. Isengnya kambuh, tapi kemudian Jaemin terkekeh habis itu--- sebab alis Jeno yang merengut merasa terganggu.

Jarinya juga mengelus pelan luka berbalut plester yang ada di pelipis dan sudut bibir Jeno. Di elus sayang, Jaemin jadi sedih melihat lebamnya di rahang. Sedih melihat Jeno terluka seperti ini untuk yang kesekian kali.

Kedua tangannya membingkai wajah Jeno. Menangkupnya, memandangi wajah tentram Jeno yang sedang ada di alam mimpinya. Terasa pelukan Jeno mengerat di pinggang, mungkin merasa agak terusik.

"Angga, kamu tuh ya. Hobi banget bikin aku khawatir tau ga?"

Jaemin bergumam pelan, tapi terdengar jelas. Angga adalah panggilan kecil Jaemin kepada Jeno kalau sedang serius. Jeno tak bereaksi, mungkin memang benar-benar masih tidur nyenyak. Wajar saja, malam sebelumnya ia amat sangat lelah.

Jarinya mengelus lembut pipi tirus Jeno, "Maaf, ya. Aku sering ngerepotin kamu. Padahal kamu harusnya yang repotin aku, masalah kamu tuh banyak, kok kamu tahan sih gak curhat?"

Jaemin cerocos saja ujarannya di depan wajah Jeno. Masih dalam posisi yang sama sejak awal tadi. Terlalu nyaman; tangan Jeno yang mendekap erat pinggangnya buat dia hangat selain dengan balutan selimut. Ia juga suka saat berdebar kalau dekat Jeno, rasa-rasanya seperti gelenyar aneh yang buat bahagia sepanjang hari.

Sebelah jarinya menyentuh alis tebal Jeno, mengikuti alur nya dari atas hidung sampai ujung pelipis. Mengusap amat halus plester lukanya.

"Aku ini pacarmu, loh. Apa-apa tuh ceritanya ke aku, ya? Ya ga, Angga?"

ceritanya, nomin. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang