Halaman Dua belas ; Tentang.

4.1K 576 76
                                    

Kalau mau di ceritakan, amat panjang. Sejak awal pandang, hingga punya banyak kenangan seperti sekarang.

Enggan usai, terus terurai. Tak bertepi, hanya bisa di selami. Semakin dalam; semakin tenggelam. Titian tak berujung;

Terlampau indah semuanya. Terlalu susah jika mau melupa. Mengalir terus bagai sungai yang menyusuri. Dari yang sekelam jelaga; atau berwarna-warni layaknya lembayung senja;















Seindah itu perjalanannya.


"Nandika, ayo kita ke makam Mama. Saya mau kenalkan kamu, orang cantik yang saya suka sampe-sampe di sandingin sama ayam semur dan Mama."







Untuk pertama kalinya, Jeno Anggara menemukan sosok se-sempurna Nandika. Sosok yang membuatnya tenggelam amat dalam walau tanpa sentuhan; dan bersanding posisi dengan Mama di dalam hidupnya.











"Walau saya pintar, saya gak suka belajar. Saya suka nya Kamu, Na. Kalau sudah ingat mukamu, rumus rumus kabur semua dari kepala."









Untuk pertama kalinya; Jeno Anggara dapat mengingat sesuatu yang lebih baik daripada masa lalu dan rumus-rumus rumit. Nyatanya, sejak pertama tukar pandang pun, sudah jadi candu.










"Kata saya-kamu ini istimewa, cuma di pakai buat bicara sama kamu aja. Kalau sama orang lain mana ada saya ngomong bahasa sehalus ini."








Tak pernah terpikir Angga akan merasakan rasanya tulus ke orang. Sedari kecil, hanya Bunda yang dapat ia sayang. Sisanya hampa rasa, sepi semesta.








"Kamu cantik, Na. Cantik betul. Rasa-rasanya aku jadi insecure."








Seiring jalannya waktu Jeno mengganti kata saya jadi kamu. Di minta Jaemin, lebih halus saja bahasanya katanya. Kalau pakai kata saya, Jaemin jadi serasa ngobrol sama bapak guru di sekolahnya.

Mereka pernah dalam posisi lelah. Kala dunia serasa tak menerima adanya mereka; katanya gini, katanya gitu. Katanya Nandika itu awan lembut yang membumbung tinggi di atas sana, lalu Jeno cuma tanah yang luluh lantak; becek merendah.


"Aku kasihan sama kamunya, Na. Gak salah apa-apa tapi kamu keseret juga. Kita temenan aja, ya?"

Jeno tahu diri, seharusnya memang ia yang banyak-banyak di hujat untuk soal ini. Dialah yang cacat, yang banyak kurang. Sedangkan Jaemin lah yang melengkapinya, yang sejak awal Jeno menyapa ia sudah jadi alasan mengapa ujung mata Jeno menyipit.

Tapi Jaemin juga jadi ikut-ikutan terhujat. Dibanjiri berbagai sindiran yang pedasnya lebih dari seblak bersambel cabe setan.

Maka kala Jeno berkata seperti itu, Jaemin spontan menggeleng kencang sembari menatap sengit,

"Nggak! Gapapa, Kak Angga. Ayo kita pikul beratnya sama-sama. Aku lebih sayang sama Kak Angga daripada benci sama mereka."

"Aku juga sayang kamu, Nana. Sayang sekali. Tapi kalau kamunya malah sakit hati? Nanti---"










Cup.












"Udah kubilang, ayo kita pikul semuanya sama-sama, Kak Angga. Kita harus bisa lawan mereka karena aku sayang Kakak dan Kakak pun sayang aku. Oke?"







ceritanya, nomin. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang