Bagian 1

57 9 2
                                    

Alifia Hafidita, aku selalu bangga meyerukan nama yang seindah itu berkali-kali. Bersyukur pula aku tumbuh di keluarga yang sangat harmonis, memiliki Bunda dan Ayah yang juga saling mengasihi.

Tapi ternyata tidak selamanya aku merasa bangga, karena detik ini aku merasa malu menyerukan namaku dengan keras seperti biasanya. Andai waktu bisa ku jelajahi, andai ego tak menguasai maka penyesalan ini takkan pernah ada di benakku.

Bagaimana caranya membuat mutiara hatiku berhenti menangis? Aku gemetar mendengar suara pilu beliau, apa aku benar-benar membuat harapannya hancur?

"Kenapa kamu bertindak begitu Fi?"

Aku menunduk, tak ada keberanian menatap mata Ayah yang sekarang mulai berbicara. Mencoba bertanya tentang ulahku yang mungkin diluar nalar bagi beliau.

"Apa selama ini cerita Ayah tentang segala dosa zina ngga pernah kamu indahkan Fi?"

Jika tadi aku hanya menunduk, detik ini aku terisak. Aku menyesal, sungguh. Bagaimana aku bisa memperbaiki semuanya?

"Ayah... Fia minta maaf. Fia ngga macem-macem yah. "

"Iya Fia, memang satu macam tapi kenapa satu macam perbuatan kamu ini begitu membuat Ayah dan Bunda merasa gagal menjadi orang tuamu?"

Tatapanku kosong, memikirkan bagaimana cara memperbaiki ini semua? Apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus luka di hati kedua orang tuaku.

"Ayah... Fia harus apa untuk perbaiki semua ini? Fia menyesal Ayah."

"Jangan berhubungan sama lelaki itu lagi, dan Ayah mau kamu pindah sekolah ke sekolah Aliyah."

"Fia ngga mau Yah, Fia mau sekolah regular aja..."

"Bunda dan Ayah adalah sekolah pertamamu Fi, tapi nyatanya kami gagal. Bagus Ayah ngga masukin kamu ke pesantren ya Fi, sekali kamu langgar aturan Ayah lagi, kamu masuk pesantren."

Aku diam. Bagaimana pun aku menolak maka hasilnya akan tetap sama, dan aku harus siap pisah dengan teman-temanku yang lain dan harus berbaur kembali dengan teman yang baru.

***********
Ini adalah salam perpisahan dariku untuk teman-teman ku, hari terakhir aku menginjakkan kaki di sekolah ini. Melihat raut wajah Aini dan Fisyi yang muram karena tahu aku akan pindah sekolah secara dadakan seperti ini, sebenarnya semakin terasa berat.

"Gimana sama Putra? Lo udah kasih tau dia? "

Aku menggeleng. Rencananya aku akan bertemu nanti di taman belakang sekolah dan baru akan ku akhiri semuanya. Belum terjadi saja hatiku sudah sakit membayangkannya tapi bagaimana pun juga Ayah dan Bunda adalah prioritas untukku.

"Putra bisa kecewa sama lo Alifia."

"Mau gimana lagi? Ayah marah besar tahu gue pacaran sama Putra."

Mereka terkejut, aku tahu itu karena baik Aini atau Fisyi sangat hapal dengan aturan Ayah dan Bunda yang sangat islami sekali kalau kata mereka, jadi mereka sudah pasti bisa membayangkan situasi yang aku hadapi saat ini.

"Gimana bisa? "

"Bunda ngga sengaja baca chat gue sama Putra, dan yaudah gue ketahuan."

Kalau membayangkan kejadian saat Bunda membaca pesan Putra waktu itu sedikit membuat aku merinding. Bunda tanpa segan melempar ponsel milikku setelah aku mengatakan kalau Putra menjalin hubungan denganku.

Bunda kasih kamu ponsel bukan untuk ini fungsinya. Bukan untuk zina Alifia!

Dalam hidupku, itu adalah bentakan Bunda pertama kali. Dan saat Bunda sendiri yang menyebut aku sudah 'zina' membuat hatiku begitu sakit. Perkataan itu terucap dari bibir Bunda sendiri, itu yang membuat hatiku sedih.

"Yang sabar ya Fia, Bunda sama Ayah lo pasti akan lupa dan bisa maafin lo kok seiring berjalannya waktu."

Aku mengangguk, mencoba yakin dan sedikit banyak juga berharap kalau yang dikatakan Aini akan datang dengan segera.

Jika mengucapkan salam perpisahan ke dua sahabat ku sudah selesai saatnya aku menyampaikan salam perpisahan yang berarti benar-benar pisah kepada Putra, sang ketua osis yang mampu membuat hatiku bahagia bahkan hanya dengan melihat senyumnya saja.

"Heyy kok bengong?"

"Aku mau bicara kak. Kamu harus terima apapun yang aku minta."

Dia tersenyum, membalas ucapan ku dengan anggukan dan meminta aku untuk bicara sambil duduk.

"Aku mau pindah sekolah, jadi kita harus pisah Kak."

Dia terkejut, aku tahu betul meski dia tidak memperlihatkannya secara langsung.

"Jadi kamu mau minta LDR? Emang kamu bisa?"

Pertanyaan itu sinkron sekali dengan perbincangan dua hari lalu, waktu itu Putra bilang dia ingin kuliah di luar negeri dan aku bilang aku tidak mau LDR jadi kalau dia tetap pergi maka dia juga merelakan aku pergi.

Aku menggeleng. Bukan itu maksudku.

"Terus gimana? Aku kan udah mau lulus dan ngga mungkin ikut kamu pindah sekolah kan?"

"Jalannya cuma satu Kak..."

"Aku mau kita sudahi hubungan ini."

Akhirnya kalimat itu terucap juga, jujur aku sedih tapi entah kenapa aku merasa sedikit lega. Aku memang harus menyelesaikan masalah yang ku buat sendiri.

"Becanda?"

"Serius."

"Nggak mau coba ldr?"

"Aku kan udah bilang ngga bisa kalau ldr."

Aku mengerti kalau Putra terlihat kecewa seperti ini, dia hanya diam tak lagi mencoba untuk membujuk seperti tadi. Jujur saja aku baru pertama kali merasakan jatuh hati, dan juga pertama kalinya merasakan sakit hati, ternyata begini rasanya.

"Maaf Kak... Aku pergi dulu, sampai jumpa di lain hari."

Aku menangis, dua hari terakhir ini sering sekali aku meneteskan air mata, aku banyak membuat banyak hati terluka, membuat Putra sedih, membuat sahabat ku sedih, dan yang paling parah membuat Ayah dan Bunda sedih kemudian marah besar untuk pertama kalinya.

" Gimana Fi? "

Aku menggeleng saja, mau menjawab pertanyaan Aini juga rasanya aku tak siap. Aku menyelesaikan masalahku karena hubunganku dengan Putra, tapi aku mengakhirinya dengan cara yang kurang benar. Putra tidak tahu alasan sebenernya aku meminta untuk hubungan ini berakhir.

Baru aku membentangkan jarak yang ingin ku bangun tapi Putra baru saja mengirim pesan

All I want's to fly with u, all I want's to fall with u. Is it impossible?

Kamu bukan untukku Kak. Cari kebahagiaan kamu sendiri. Jika sutuasi dan caranya dengan berpacaran maka aku akan menjawab impossible. Cukup sekali aku mengecewakan Ayah dan Bunda, mana sanggup aku melihat Bunda yang begitu lembut berubah sebegitu marahnya sampai rela membanting ponselku.

Kita seperti sepatu ka, yang mungkin ingin selalu berdampingan tapi tak kan pernah bisa di satukan. Kita memang bisa bersama tapi jalan hidup kita berbeda, seperti sepatu yang memiliki tempat dan jalur pijakan di kanan atau di kiri.

Jangan lupa adanya pelangi setelah hujan, jangan lupa datangnya mentari setelah gelap, jangan pernah lupa kertas putih akan cantik dilihat jika diberi banyak warna. Hidup memang begitu Fi, ada saatnya sedih, hancur, dan juga bahagia. Itu namanya bumbu kehidupan.

~~~~~~~~~~~~~~~
Assalamualaikum semua....

Aku kembali dengan sebuah cerita, semoga kalian suka. Aku tunggu komentar kalian ya tentang chapter 1 ini, dan apa kalian masih mau ada lanjutannya? Hehehe

Semoga sehat selalu ya kalian semua, tetap jaga kesehatan ya :)

Peluk jauh dari ku...

Alifia HafiditaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang