Jangan coba menghadiahinya sepotong senja yang manis, yang meski diberi puisi dan nada, bagi Raa itu sia-sia.
"Aku tidak suka senja lagi," katanya saat ku tunjukan potret senja di atas danau yang bening itu.
"Nggak perlu," kataku menimpali sambil menepuk-nepuk pelan bahunya.
"Tapi ini masih pukul 13.00, jadi mataharinya jangan tenggelam dulu dong!" aku mengangkat dagunya. Sungguh, tidak oke melihatnya tidak tersenyum. Itu seperti hari yang mendung.
Aku memberinya kode agar ia tersenyum. Satu .. dua.. tiga ... Raa yang membuatku tersenyum.
"Fotomu bagus," katanya.
"Foto yang mana?"
"Senja"
"Terima kasih,"Terima kasih, Raa. Karena meskipun isi kepalamu tidak menyukai satu hal itu, kamu tetap berusaha menghargainya.
"Besok aku pergi ke Jakarta. Keretanya pagi,"
Ia menghela nafas dan mengangguk.
"Mau nganter?" ia sedikit ragu untuk menjawab.
"Kalau nggak juga nggak apa-apa,"
"Boleh," jawabnya.Kali ini aku tidak berterima kasih. Aku keterlaluan, Raa, dan kebiasaanmu menyakiti diri sendiri memang tidak pernah berubah.
"Are you Ok?"
"Not bad."Senja dan stasiun kereta seperti hari berkabung untuk Raa. Saat orang-orang menyambut kedatangan yang pergi, Raa sebaliknya. Bahkan ia tahu, kepergian tidak pernah bisa diulang lagi.
"Dia tidak kembali, Sen. Tidak akan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sen dan Raa
Teen FictionKarena setiap yang sempat dipertemukan adalah kado untuk tetap tinggal dalam ingatan. Sen dan Raa adalah dua tokoh yang saling berlari. Siapa yang lebih dulu berhenti?