[[Sen]]
Selepas Subuh aku berkemas. Ia bilang akan bertemu denganku di stasiun kereta. Sebelumnya aku sudah bilang bahwa ini bukan paksaan, tapi ia bersikeras untuk mengantar kepergianku menuju kota yang ramai itu.
Sebenarnya, aku ingin tinggal lebih lama, jika saja seseorang memintanya.
"Raa, nggak usah masuk ke stasiunnya ya,"
"Kenapa?"
"Pokoknya kamu nunggu aku di depan gerbang aja,"
"Aku jadi kaya patung yang suka nyambut gitu dong!" protesnya.
"Ya nggak usah jadi patung juga, kan kamu bisa sambil ngomelin orang yang lewat"
"Ya itu nggak jadi patung sih, tapi aku kaya orang gila!"
"HAHAHA"Ngomong-ngomong itu kali pertama Raa mau menerima telpon pagi buta dariku. Sejak mengenalnya sembilan tahun yang lalu, Raa adalah perempuan paling anti menerima telpon kalau nggak penting-penting banget. Jadi, satu-satunya cara untuk bisa mencuri waktunya adalah mengajaknya bertemu, atau merelakan jarimu kriting mengetik sebuah pesan. Itupun susah, Raa selalu saja punya alasan untuk membatalkan pertemuan atau membalas pesan sehari setelah ia membacanya. Ini menyebalkan, tapi Raa adalah bagian yang tidak pernah bisa aku tinggalkan.
"Aku masuk aja deh," katanya sebal. Ternyata, sejak tadi ia terus memanggil-manggil namaku.
"Kalau kamu gak suka, nggak usah dilakuin,"
"Idih!" ia menutup telponnya.Aku tersenyum melihat layar telponku yang menampilkan chat terakhir dengannya. Ia mengirimku sebuah foto.
"Aku pake baju ini ya nanti,"
Baginya, itu jelas bukan pesan spesial. Ia hanya bermaksud memberitahuku agar waktunya tidak terbuang lama-lama hanya untuk menungguku bisa menemukannya. Kejadian itu sudah sering terjadi.
"Salahmu punya badan kok kecil amat,"
"Kok kamu body shaming sih?!"
"Lhah, nggak juga."
"Itu tadi!"
"Aku nggak bilang punya badan kecil itu jelek,"
"Ya tapi aku jadi ngerasa gitu,"
"Kan kamu yang ngerasa sendiri, aku nggak nyuruh"
"Hrrrrrgh" ia menahan diri untuk tidak bicara lagi. Aku menahan untuk tidak tertawa.Raa, Raa. Harusnya kamu perpanjang saja perdebatan kita hari itu. Setiap raut yang Tuhan lukis di wajahmu, aku selalu menyukainya. Asal, jangan menangis, jangan ketika Raa menangis lagi.
****
[[Raa]]
Aku menutup telponnya. Baguslah, tidak lebih dari lima menit aku bertelpon sepagi buta itu dengan seseorang. Semoga dengan akhir yang sedikit judes itu ia bisa mengerti bahwa aku tetap akan menunggunya di stasiun, tepat di bangku dekat mesin pencetak tiket yang rajin sekali bekerja.
"Ma, Raa pergi dulu ya,"
"Nyetir sendiri?"
"Iya dong" aku mencium punggung tangan perempuan itu. Aroma bawang putih sampai di hidungku. Mama baru selesai masak."Eh, Raa, Raa"
"Iya Ma?"
"Mama nitip ya, buat Sen."
sebuah bingkisan berisi bekal dengan menu kesukaannya.
"Oke" kataku sambil mengedipkan mata.Mama memang sudah mengenal Sen sejak lama. Ia sering berkunjung ke rumahku saat duduk di bangku SMP untuk minta diajari rumus matematika. Berhubung aku kakak kelasnya yang baik, meski dengan sedikit ngomel tetap ku ajari ia rumus phytagoras, trigonometri, sistem kordinat, juga rumus-rumus lainnya.
Aku menganggapnya seperti adik kecil yang merengek minta dibelikan balon, tapi ia selalu bersikeras menolaknya. Katanya, "Kamu jauh lebih kekanakan dariku Raa!"Ia memerotesku lebih sering dari Mama menasehatiku. Saat aku menangis karena seseorang, Sen selalu berkata "Aku akan selalu ada buat kamu, Raa".
Sembilan tahun, dan di tahun ke delapan, Sen harus tahu bawa ia perlu belajar berhenti mengatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sen dan Raa
Teen FictionKarena setiap yang sempat dipertemukan adalah kado untuk tetap tinggal dalam ingatan. Sen dan Raa adalah dua tokoh yang saling berlari. Siapa yang lebih dulu berhenti?