Senja dan stasiun kereta adalah dua hal paling menakjubkan bagi seorang laki-laki yang usianya setahun lebih muda dariku itu. Sudah lebih dari seratus kali ia berburu jadwal keberangkatan kereta yang bertepatan dengan warna langit yang tidak lagi biru.
Tidak lagi biru. Matahari yang pulang meninggalkan warna cantik keemasan untuk dikenang, dalam puisi, syair lagu, sebuah potret, atau tempat paling rahasia; hati manusia.
"Dia tidak kembali, Sen. Tidak akan."
Aku tersenyum dan mataku kosong menatap gambar yang dua menit sebelumnya ia tunjukkan dengan penuh rasa bangga."Aku tidak suka senja lagi," sambungku. Ia termenung, dan aku merasa keterlaluan. Aku adalah orang pertama yang ia beri kesempatan melihat dunianya, tapi, aku tidak berusaha membuatnya bahagia.
"Nggak perlu," katanya. Ia menepuk bahu sebelah kiriku sambil tersenyum. Aku benci senyuman itu. Orang-orang belajar untuk membohongi diri sendiri dengan tetap tersenyum saat seharusnya mereka marah dan menangis. Tapi aku lebih membenci diriku sendiri, karena hari ini aku jadi alasan orang harus bertindak bodoh.
Besok ia berangkat ke Jakarta. Kota yang tidak pernah tidur untuk mendengar dan bercerita. Bagaimana pun, Jakarta melahirkan orang-orang hebat yang berani bergerilya dalam hiruk-pikuk dan gemerlapnya. Sen selalu bilang, kita tidak bisa memandang kota itu hanya dari kaca spion kendaraan yang sedang terjebak kemacetan. Kita harus memandang dari ketinggian lantai ketujuh sebuah gedung. Saat malam tiba, Jakarta terhampar seperti langit malam yang penuh bintang. Ilmu pengetahuan, telah mengubah wajah dunia.
"Dan orang-orangnya, Raa. Aku bertemu orang-orang baik disana!" katanya dengan mata menyala-nyala seperti anak kecil dibelikan sepeda baru.
"Mau nganter?"
Ku pikir, itu bukan sebuah pertanyaan, itu lebih terdengar seperti sebuah pengharapan yang sengaja diakhiri dengan tanda tanya. Aku benci nada kalimatnya. Orang-orang terlalu mudah menaruh harapan kepada seseorang yang tidak pantas diharapkan. Tapi aku lebih benci kepada diri sendiri karena tidak bisa menahan diri untuk menjawab, "boleh." Itu seperti permintaan maaf karena tidak berperilaku baik saat melihat hasil jepretannya yang keren.
Sen, aku masih tidak suka stasiun kereta, dan langit yang tidak lagi biru itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sen dan Raa
Teen FictionKarena setiap yang sempat dipertemukan adalah kado untuk tetap tinggal dalam ingatan. Sen dan Raa adalah dua tokoh yang saling berlari. Siapa yang lebih dulu berhenti?