Scandal | 50

885 63 6
                                    

Aku mendatangi rumah sakit yang dimaksud Mama Linda pada keesokan harinya ditemani oleh Arini.

Demi kunjunganku ke rumah sakit, Arini dengan sukarela menjadwal ulang seluruh agendaku hari ini.

Aku menarik napas pelan dibalik pintu ruangan wanita itu menginap. Selesainya aku menenangkan diri, kuatur mimik wajahku agar nampak lebih bersahabat. Tak lupa, kulukiskan senyuman tipis yang menambah kesan 'bersahabat'.

Teruntuk hatiku yang terluka, kuat-kuat, ya? Ini gak akan lama.

Kubuka pelan pintu di hadapanku dan saat itulah aku melihat mereka berkumpul.

"Eh, Anneth! Udah dateng?" sapa Mama Linda. Aku tersenyum lebih lebar. Mama Linda berjalan menghampiriku dan kemudian menggandengku. "Sini, sini! Mama kasih liat cucu Mama satu-satunya."

Mama Linda menarikku perlahan menuju ranjang. Membawaku pada cucunya--juga calon menantu barunya.

"Lihat. Cantik ga?" tanyanya lagi. Wanita itu menunjukkan bayinya padaku. Lagi-lagi, aku tersenyum dengan sangat dipaksakan. Semoga saja tidak terlihat aneh. "Cantik, Ma. Mirip ibunya."

"Ma, kok gak jawab telepon aku?"

Suara seorang pria dari arah pintu masuk membuatku menengok. Aku terperanjat pelan melihat sosoknya. Lelaki itu pun ikut tersentak pelan.

Dia adalah orang yang mendatangiku ke lokasi syuting tempo lalu. Dia ... Sepupu wanita itu.

Aku menatapnya lekat-lekat dan tersenyum simpul. Ia membalas senyumanku dengan kaku.

"Eh, Sam! Kamu nelpon Mama?" ucap Mama Linda. Aku mengalihkan pandanganku kepadanya.

Sam?

Nama itu terdengar familiar.

Mama?

"HP Mama di mode silent ternyata," lanjut Mama Linda. Aku semakin bingung.

"Oh iya, Sam. Kenalin, ini Anneth." Mama Linda memperkenalkanku pada pria yang berdiri di depan pintu. "Nah, Anneth. Ini Samuel. Adiknya Kenneth sekaligus ayah dari bayinya Sheila."

Dan setelahnya, aku benar-benar tak bisa menutupi rasa terkejutku.

***

Aku terduduk di kursi tunggu yang ada di depan ruang rawat inap Sheila. Ya, sekarang aku tahu nama wanita itu. Dan status pria yang duduk di sampingku.

Kami telah duduk bersama selama beberapa menit. Namun ia sama sekali tidak membuka mulut.

"Lo gak mau jelasin apa-apa ke gue?" tanyaku pada akhirnya dengan perasaan yang muak.

Ia tetap membisu.

"Lo beneran gak mau buka mulut? Apa harus gue yang nanya duluan?"

Samuel mendesah pelan. "Sorry."

Aku tak membalas. Aku mencoba memberinya ruang untuk menjelaskan semuanya.

"Sorry gue udah bohongin lo. Gue ... Bener-bener nyesel."

Permohonan maaf dari Samuel itu terdengar tulus. Ia terlihat benar-benar menyesal dengan kebodohannya.

"Jujur, gue masih gak paham. Kenapa lo tega ngehacurin rencana pernikahan kakak lo sendiri? Pernikahan gue? Apa untungnya buat lo?"

Samuel membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjawab pertanyaanku yang berlapis. Jawabannya hanya satu, "Karena kita lagi perang saudara."

"Hah? Maksud lo apa, sih? Please, jangan berbelit!" seruku tak suka.

Scandal |  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang