Satu

11.3K 56 4
                                    

Damar keluar dari dalam mobilnya, lalu berjalan santai memasuki gedung universitas tempatnya kuliah dulu. Beberapa pasang mata menatapnya dengan tatapan heran, bertanya-tanya, dan tentunya ada juga yang menatapnya dengan kagum.

“Itu kan Kak Damar? Udah lama banget Kak Damar gak datang ke kampus,” kata salah satu mahasiswi di sana.

“Paling mau ngurus organisasinya,” sahut temannya.

Ya, meski Damar sudah lulus dari kampus, pria itu tetap datang ke kampus untuk mengecek organisasi musik yang dulu ia pimpin.

Sebentar lagi kampus akan mengadakan acara, tentu saja organisasi musiknya harus ikut andil dalam acara tersebut. Maka dari itu ia datang ke kampus untuk mengecek persiapan anggotanya untuk menyambut acara tersebut.

Selain itu, tujuan utamanya untuk datang ke sini bukan hanya untuk mengecek organisasi musiknya. Melainkan untuk melihat pujaan hatinya yang akhir-akhir ini sudah jarang ia temui dikarenakan kesibukannya mengurus perusahaan, dan gadis itu yang sedang sibuk mengurus skripsinya.

Ia berjalan menuju kantin, di mana gadis itu berada sesuai dengan perkataan salah satu anggota organisasi musiknya. Selama ia sibuk, ia tidak membiarkan gadis itu lepas dari pengawasannya.

“Eh, senior.” Salah satu mahasiswa yang mengenalnya, mendatanginya dan menjabat tangannya. “Gimana kabarnya, bang?” tanya mahasiswa itu.

Damar menaikkan sebelah alisnya. “Lo siapa?” Damar kurang baik dalam hal mengingat orang dan nama orang, tapi ia merasa tidak asing dengan wajah di hadapannya saat ini.

“Gue Burhan, bang. Mahasiswa yang selalu lo bantuiin karena jadi bahan bully-an di kelas,” kata Burhan mengingatkan dirinya.

Damar terlihat berpikir, lalu melihat penampilan Burhan yang terlihat berbeda dengan penampilannya yang dulu. “Lah, lo si Burhan cupu itu, ya? Anjir, penampilan lo beda banget. Gue sampai gak ngenalin lo.”

Burhan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia merasa tersanjung dengan pujian seniornya itu. “Biasa aja, bang. Gue gini karena lo yang selalu kasih gue saran.”

Damar menepuk pundak Burhan. “Bukan karena gue. Itu karena diri lo sendiri yang mau berubah.”

“Iya, bang.” Burhan selalu mengangumi seniornya itu, karena selalu baik kepadanya. Bukan hanya kepada dirinya saja, tapi juga kepada mahasiswa lainnya.

“Lo gak ada jam kelas sekarang?” tanya Damar.

“Ada, bang. Sepuluh menit lagi,” jawab Burhan.

“Ya udah, lo ke kelas lo gih. Gue masih ada urusan,” kata Damar.

Burhan menganggukka kepalanya. “Lain kali kalau kita ketemu, gue traktir kopi, ya, bang.”

Damar mengacungkan jempolnya. “Bisa diatur.”

Burhan pun belalu dari sana, begitu pun juga dengan Damar yang melangkahkan kakinya dengan mantap menuju kekasihnya yang terlihat menyendiri di pojokan kantin menikmati makan siangnya.

“Hai, gue boleh duduk di sini?” tanya Damar.

“Boleh. Silakan,” jawab Sasha sambil berdiri dari duduknya, dengan membawa nampan makanannya. Dia masih belum menyadari kalau pria itu adalah Damar.

“Lo mau ke mana? Makan siang lo belum habis,” tanya Damar.

“Gak apa-apa. Udah, ya, jangan tanya lagi. Aku dilarang berinteraksi dengan cowok, selain membahas pelajaran.” Sasha hendak pergi dari sana, tapi tangan Damar segera menahannya.

“Kamu siapa sih? Kamu mau aku laporin ke Damar, ya?” Sasha menolehkan kepalanya ke belakang, lalu menatap pria itu.

Damar menaikkan sebelah alisnya. “Lo gak kenalin suara gue, ya?”

Sasha mengedip-ngedipkan matanya. “Lho, Damar?”

“Apa? Duduk. Gue mau makan siang sama lo.”

Sasha menuruti perkataan Damar, dengan duduk kembali di hadapan pria itu.

Damar menatap sekeliling kantin, dan tatapannya berhenti pada satu objek yang hendak pergi memesan makan ke Ibu Kantin. “Eh, lo, sini!”

Mahasiswa yang merasa terpanggil tersebut pun, menunjuk dirinya sendiri. “Gue, bang?”

“Iya. Sini, cepet.” Mahasiswa tersebut segera menghampiri Damar. Ia mengenal Damar sebagai senior terbaik dari kampusnya, karena wajahnya selalu menjadi ikon di kampus mereka. “Ada apa, bang?”

“Nama lo siapa?” tanya Damar.

“Gue Tio, bang,” jawab pria yang bernama Tio, itu.

“Gue bisa minta tolong gak sama lo?”

Tio menganggukkan kepalanya. “Bisa, bang. Selama gue bisa, kenapa gak?”

“Gue suka sama bahasa lo,” kata Damar. “Kalau gitu, lo beliin gue makan siang. Gue mau mie baksonya Ibu Yeni, bilang aja yang mau Damar. Ibu Yeni pasti udah tahu.” Damar lalu memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada Tio.

“Oke, bang.” Tio pun berlalu dari sana, menuju Ibu Yani, lalu memesankan mie bakso sesuai yang dikatakan oleh Damar tadi.

“Kamu ngapain ke sini, Dam?” tanya Sasha.

“Kenapa? Salah? Ini kan kampus tempat gue kuliah juga,” jawab Damar.

Sasha menggelengkan kepalanya. “Gak kenapa-kenapa, aku cuma tanya aja.”

Damar berdecak. Pacarnya itu masih saja polos seperti biasanya. “Lo gak rindu sama gue?”

“Aku rindu sama kamu kok.”

“Masa? Gue gak percaya. Reaksi lo pas lihat gue gak sesuai dengan ekspektasi gue,” kata Damar tidak percaya.

“Memangnya ekspektasi kamu seperti apa?” tanya Sasha.

“Lo peluk gue, terus cium gue sambil bilang ‘Aku rinduk kamu, Dam’,” kata Damar.

Sasha memanyunkan bibir. “Apaan sih, ini kampus tahu.”

“Yang bilang ini hotel siapa Sasha, Sayang?” Damar memajukan wajahnya ke depan, dan refleks Sasha memundurkan wajahnya. “Gimana kalau habis ini kita ke hotel?”

Sasha mendorong wajah Damar menggunakan telapak tangannya. “Apaan sih. Kalau ngomong suka gak tahu tempat.”

Damar terkekeh. “Jadi gimana? Mau kan?”

“Gak, aku masih ada mata kuliah habis ini.”

Damar menghela napas. “Lo bolos dong sesekali. Gue rindu banget nih sama lo.”

“Gak bisa, Damar. Aku kan sebentar lagi mau sidang kelulusan, masih sibuk banget,” kata Sasha menolak halus.

“Lo emang gak rindu sama gue,” kata Damar.

“Siapa bilang? Aku rindu kok sama kamu, tapi keadaannya sekarang emang lagi gak memungkinkan aku untuk melepas rindu sama kamu,” kata Sasha memberikan pengertian.

“Alesan aja lo,” kata Damar.

Sasha terlihat bingung sekarang. Ia juga merindukan Damar, tapi ia harus mengutamakan pendidikannya dulu daripada asmaranya saat ini.

Hanya satu yang bisa ia lakukan untuk membuat Damar mengerti, yaitu dengan mencium pria itu. Sasha menatap sekelilingnya, lalu beralih menatap Damar dengan ragu.

Sasha segera berdiri dari duduknya, lalu memajukan tubuhnya untuk mengecup bibir Damar. Damar terdiam dengan tindakan yang dilakukan Sasha barusan, itu cukup membuatnya terkejut.

Damar menyentuh  bibirnya. “Lo cium gue barusan?”

Sasha menganggukkan kepalanya, dengan wajah yang terlihat memerah.

“Lo buat gue speechless,” kata Damar membuat wajah Sasha semakin memerah.

Beberapa saat kemudian, Tio datang membawakan pesanan Damar. “Ini kembaliannya, bang.”

“Lo ambil aja,” kata Damar.

“Eh, lo seriusan, bang?” tanya Tio. Damar hanya berdehem sebagai jawaban. Tio berdecak senang. Sepertinya perkataan semua orang benar adanya, Damar memang baik hati. “Makasih, bang.”

Good Boyfriend (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang