17. RENCANA

178 43 15
                                    

Votementnya ya.

17. RENCANA

Seorang pria berjaket denim terus melirik ke arah pintu kafe, berharap sosok yang ditunggu menampakkan batang hidungnya. Beberapa menit berlalu, membuatnya jengah untuk menunggu. Randi mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Nara---gadis yang berhasil membuatnya menunggu selama itu. Sekali seumur hidup, Randi menunggu seorang gadis dan rela membuang waktunya. Jika tidak mengingat apa tujuannya, sudah dipastikan ia akan berjalan dengan gadis lain saja.

"Kak maaf aku terlambat."

Suara itu membuat Randi menengadah. Menatap gadis bermata cokelat dengan balutan dress sederhana dan rambut yang panjang tergerai bebas. Membuatnya menatap tanpa berkedip. Niat buruknya terhadap gadis itu seolah luntur entah kemana. Segera ia mempersilakan Nara untuk duduk.

"Tadi aku habis sholat dulu."

"Nggak papa. Berhubung sudah ada di sini, mau pesan apa?" tawar Randi.

"Vanilla late aja kak."

"Makanannya?"

"Hm... Nggak usah kak. Tadi aku sudah makan."

Randi mengangguk. Menit tiap menit setelah mereka memesan, keduanya dilanda rasa hening membuat Nara merasa sedikit tidak nyaman. Aneh, dulu hari ini yang sangat ia nantikan. Berkencan dengan Randi. Tapi kenapa perasaannya berbeda kali ini?

"Ra, lo cantik," ucap Randi entah sadar atau tidak.

"Hm... Makasih kak," jawab Nara canggung.

"Lo ke sini sama siapa?"

"Sendiri. Naik taksi."

"Tau gitu, biar gue aja yang jemput ke rumah lo."

"Nggak masalah kak."

Diam-diam, Randi terus mengamati Nara dengan lekat. Sangat cantik, pikirnya. Perasaannya pun bergejolak. Apa mungkin dia menyukai Nara? Apakah dengan menyukai gadis ini, rencana yang semulanya ia rancang akan berhasil?

Mata, hidung, alis, serta bibir tipis dan ranum berwarna merah muda begitu sempurna. Nara sangat menawan dan pesonanya tidak terelakkan.

Dalam hati, ia bergumam. Kenapa dari dulu dia menghiraukan gadis secantik Nara? Tau gadis itu cantik dan menyukainya, pasti akan dengan mudah untuk ia genggam.

"A-ada apa kak?" ucap Nara merasa sedikit kikuk. Pasalnya Randi terus memperhatikannya, membuat Nara semakin tidak nyaman.

"Ekhem. Enggak," kilah Randi gugup. Hal yang tak pernah ia rasakan dengan gadis lain diluar sana. Biasanya dia berpacaran tanpa dasar perasaan. Dengan Siska---mantan pacarnya yang sudah menjalin hubungan cukup lama pun tidak seperti ini. Sial.

"Mas, mba, ini vanilla late, dengan americano coffenya," ujar pelayan kafe.

"Makasih mba."

Nara mengambil vanilla late dan menyesapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Randi terkekeh ketika sudut bibir Nara terdapat cream, membuatnya tergerak untuk menghapus jejak cream di bibir ranum tersebut.

Sontak Nara terlonjak atas perlakuan Randi. Gugup sekali. "Makasih kak."

"Gue denger, lo pacaran sama Alga?" tanya Randi mencairkan suasana.

"Nggak kak. Kita cuma temen."

Randi mengangguk paham. "Terus gimana rasanya dicium Alga?"

"Hah?" Nara tidak mendengar karena suara di sini lumayan berisik, dan Randi berbicara seperti tengah berbisik.

If I Could (Alga & Nara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang