22. MENJALIN KASIH

231 46 27
                                    

Gaes aku mau ulangan dan masih sempet-sempetnya bikin cerita ini, wkwk.

Happy reading!

22. MENJALIN KASIH

Burung bertengger manis di dahan pohon, di iringin kicauan-kicauan bak nyanyian merdu di pagi hari. Sebuah senyuman terpatri mencipta energi, menular bahagia kepada siapapun yang melihatnya.

Definisi bahagia sederhana yang dapat Alga simpulkan hari ini adalah melihat senyuman Nara. Tidak ada yang lebih dan kurang, Nara merupakan takaran yang pas untuk membuat harinya begitu bermakna.

Sebagai sosok yang menjabat sebagai kekasih Nara, hal yang dilakukan orang pada umumnya adalah berangkat ke sekolah bersama. Alga sudah siap lahir batin berhadapan dengan kedua orangtua Nara.

"Ma, pa, Nara berangkat sekolah," tangannya menyalimi kedua orang tuanya, diikuti Alga.

"Om, tante, makasih atas izinnya. Kami pamit dulu."

"Hati-hati, pacaran yang sehat aja," ucap Raffael dengan nada sedikit dingin.

"Jaga anak saya, jangan sampai lecet. Kamu tau berlian? Lecet sedikit, harganya turun. Kamu mengerti maksud saya?"

Alga mengangguk. "Baik om, sebisa mungkin saya akan menjaga anak om dan tante. Percayakan pada saya. Meski saya tidak bisa mengarungi luasnya lautan, tidak bisa menjejaki tingginya gunung, saya akan berusaha meninggikan martabat perempuan, sebagai sosok yang perlu dijaga, bukannya dirusak."

Raffael menyipitkan matanya. "Jangan cuma sekedar ngomong aja. Buktikan. Saya berikan kepercayaan saya, pada kamu."

"Terimakasih om, tante."

Mira tersenyum sesekali terkekeh kecil bersama Nara. Melihat raut kaku Raffael, dengan wajah keringat dingin Alga, membuat ibu serta anak gadisnya merasa ingin tertawa keras.

"Pa, udahlah. Kasian Alga tegang, kayak mau ngelamar Nara aja," ujar Mira langsung menarik tangan suaminya untuk masuk ke dalam rumah.

"Kalian berdua hati-hati."

"Tapi, aku belum selesai ngomong ma," tolak Raffael, namun Mira tetap saja menariknya.

"Mereka bisa telat ke sekolah, kalau kamu ngomong terus."

Alga menghembuskan napas lega, ketika kedua orang tua Nara sudah masuk ke rumah. Ia sangat tegang, bukan karena apa, ia hanya takut salah bicara.

"Papa nggak makan orang. Lagi pula, kalian berdua pernah bicara waktu itu 'kan?" tangannya berusaha mencapai helm, tapi Alga lebih dulu mengambilnya, kemudian memakaikannya pada Nara. Napasnya tercekat beberapa saat.

"Ini beda. Kita udah pacaran, jadi wajar aku tegang. Wajar juga papa kamu sedikit berbeda dari awal pertemuan kita. Soalnya, papa kamu khawatir putrinya kenapa-napa. Kamu cantik soalnya," tak menampik, Alga senang melihat wajah Nara yang seperti ini. Pipi bersemu dengan kegugupan yang terlihat jelas dari gerak-geriknya. Alga jadi gemas sendiri.

"Nggak mempan gombal pagi-pagi!"

Alga terkekeh lalu menaiki motornya, disusul Nara. "Kalau kata Yovan sih gini."

Jauh-jauh ke Negeri China
Hanya untuk mencari ilmu
Namamu saja sudah mempesona
Apalagi dengan senyumanmu

Nara tertawa garing, sambil mengibaskan tangannya. "Dih, pantun nyolong juga."

"Kalau baper ya baper aja Ra. Kelihatan tuh pipinya merah-merah, bibirnya nahan senyum. Tangannya ngipas-ngipas, pipinya panas ya? Mau aku cium?" goda Alga membuat Nara tak tahan untuk melayangkan satu pukulan di bahu pria itu.

If I Could (Alga & Nara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang