"Wahai, hati ini telah kehilangan tempat untuk pulang."
Kala itu, Aku hanya bisa terdiam saat kau mengucap kata pamit. Bibirku kelu, lidahku membisu. Ingin hati menghadang kepergianmu, namun aku tak sanggup. Sebab aku paham betul, ada mimpi yang mesti kau raih. Ada cita-cita yang perlu kau gapai. Dan ada masa depan cerah yang siap menanti.
Terkadang tangis membasahi pipi. Mengingat semua kenangan yang pernah kita lalui. Bagaimanapun, kamu adalah sosok yang tak kan terganti. Sosok yang selalu mewarnai hari-hariku dengan indah di masa lalu, dan ku harap hingga akhir waktu.
Lambaian tanganmu saat itu seketika membuat jantungku melemah. Sesak memenuhi ruang dada. Jika dipikir-pikir, untuk apa aku selebay ini? Aku tahu, hubungan kita hanya sebatas persahabatan. Namun, hati tak bisa membohongi rasa. Ada yang berbeda diantara kita. Ku yakin kau pun merasakannya.
Tibalah saatnya, langkah kakimu mengayun kaku.
"Aku akan kembali dengan membawa kisah-kisah baru. Jangan risau, aku akan selalu ada untukmu meski kita terpisah ruang dan waktu."
Sebuah kalimat yang sangat menenangkanku.
Perlu kau ketahui, Aku akan menunggu, selama apapun itu.
Hari silih berganti. Perlahan, aku mulai merasa kesepian. Hingga pada akhirnya kaupun menghilang. Aku tak mendengar kabarmu lagi. Kata manismu di hari lalu ternyata hanyalah bualan. Notifikasi handphoneku bukan lagi tentangmu. Sesibuk itu? Akupun tak tahu.
Kebungkamanmu membuat aku bertanya, apakah kita memiliki rindu yang sama? Atau mungkin hanya aku yang merindu? Berbicaralah, Wahai...kumohon. Aku ini hanya manusia biasa. Jangan siksa aku sebegininya. Jangan paksa aku untuk mengerti apa isi hati dan isi kepalamu.
Ya Allah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat hati sedang penuh tanya, akhirnya...kaupun hadir. Meski hanya via suara. Sepertinya lava rindu ini sudah tak kuat ingin meledak. Kau ceritakan sejuta kisah baru. Tapi, mengapa bibir ini malah membisu, ya? Mengapa mata ini tiba-tiba basah?
Disaat aku sibuk memikirkanmu, rupanya disana kamu lebih sibuk mengasah pedang tuk melukaiku. Kau hempaskan melodi indah yang dulu pernah senada seirama. Dengan tegas kau mengatakan hal yang selama ini tak ku harapkan.
Tunggu, kenapa aku harus menangis? Memangnya aku ini siapa? Aku hanya sahabatmu, bukan? Hei, sadarlah! hanya sahabat.
Jika rasa ini kusebut cinta, namun apakah layak perasaan ini kusebut cinta? Perasaan yang menggelayuti seisi hati sebelum ada ikatan suci. Perasaan ingin memiliki tanpa memedulikan ketentuan Sang Pemilik Hati. Perasaan yang tentunya tidak Allah ridhoi, yang tak semestinya dimiliki oleh seorang muslimah sejati.
Sekali lagi, Apakah layak kusebut Cinta?Usai sudah. Sekuntum mawar yang sedang dalam penantian kini harus kuncup dan layu. Tuhan, Adakah setetes embun yang kan membasahi sekuntum mawar yang hampir layu ini? Meski harapan tak lagi tersenyum padaku?
(Bersambung ...)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Rasa (SUDAH TERBIT)
Romance"Ketika tetesan tinta menjelma bunga. Bunga menjelma aksara. Aksara menjelma sepenggal cerita. Tentang gejolak rasa yang haus akan dahaga. Tentang rindu yang selalu datang bertamu. Dan tentang problema cinta tanpa titik temu."