“Masa-masa sulit akan mengajarimu bahwa tidak ada yang kau punya selain Allah.”
Saat ini, tibalah malam menutup senja. Detik demi detik secepat itu berlalu. Tak terasa, jarum jam berdiri tepat di angka Sembilan. Entah mengapa, pandanganku tertahan pada ciptaan Tuhan bernama Rembulan. Dari balik jendela, aku menatapnya dengan penuh kenikmatan. Rembulan itu bersanding bersama bintang. Terlihat begitu cantik dan menawan. Mengingatkanku pada sebuah perasaan yang singgah pada hati tak bertuan. Perasaan yang kupendam sendiri, dan kututupi dengan rangkaian cerita komedi.
Wahai rembulan, masih ingatkah kau? Saat dua raga bertemu dibawah indah sinarmu? Pada malam itu, aku mengenal sosok baru. Ia memulai bertanya, “siapa namamu?”
Pada saat itu, hatiku bergetar tak menentu. Jantungku berdegup kencang. mataku tertunduk tak berani menatap. Dan ia malah tertawa melihatku yang berlagak lugu.“Eh…namaku, Raisya,” jawabku sembari terus memainkan jari.
“Oh, Raisya. Mungil, ya,”
“Hah?”
“Jemarimu,” tukasnya diiringi tawa kecil.
“Oh!” Aku semakin tersipu. Lucu sekali.Sejak saat itu, aku cukup mengenalnya. Hingga pada akhirnya, dirinya menjadi satu-satunya sahabat yang kupunya.
Suara detak jam seolah berbisik di telingaku, “sampai kapan kau berdiri disitu?”
Pandangan yang sedari tadi tak berkedip memandang rembulan dan bintang kini mulai tersadar, menoleh pada jarum jam yang terus melaju.
“Selamat malam bulan dan bintang. Terimakasih, kau telah mengingatkanku pada moment paling indah. Salam hangat untukmu dan seluruh penghuni langit, dari aku si wanita biasa yang jauh dari kata sempurna. Tidak kaya, hanya berusaha untuk hidup lebih mandiri.”
***
Diantara suara jangkrik yang berderik saling bersahutan, kutemui Tuhan di sepertiga malam. Dingin air yang membasuh kulit, aku hiraukan. Yang kuharap hanyalah uluran tangan-Mu di sisa usiaku. Dengan jiwa yang masih kotor dan penuh noda, dengan mata yang terpejam dan tangan yang menengadah, seraya merasakan sentuhan kasih-Mu.
“Tuhan, aku hanya bisa pasrah dalam tunduk. Hanya Engkau yang Maha Tahu Segala. Tuhan, bukan hati tak ingin berkata. Namun biarlah waktu yang mewakiliku. Kuserahkan semua pada-Mu.”
Meski rasa ini selalu saja meronta ingin berjumpa, meski mata ini memaksa ingin menatapnya, sebisa mungkin akan aku jaga. Sebab aku yakin dengan sepenuh hati atas segala ketentuan-Mu yang tak pernah membuatku kecewa. Dan aku yakin, bahwa Engkau akan mempertemukan aku dengan orang yang tepat. Siapapun, Ia akan datang disaat yang tepat, tak ada kata terlambat ataupun terlalu cepat.
Orang bijak pernah berkata, “Sedekat apapun jika ia bukan jodohmu, maka ada seribu cara Tuhan untuk memisahkan. Dan sejauh apapun jika ia memang jodohmu, maka ada seribu cara Tuhan untuk menyatukan.” Pepatah itulah yang selalu saja terngiang di telingaku. Membuatku semakin kuat untuk menyimpan rasa hingga terucap kalimat qobiltu.
“Tapi Tuhan, apakah masih ada lelaki shalih yang bersedia menerima diriku? Sedang dosa-dosaku lebih banyak dari buih lautan?”
Tiba-tiba setetes air membanjiri pelupuk mata. Membayangkan bagaimana jadinya bila ia tahu segala cerita kelam yang sempat kutapaki selama ini?
Dengan segera jemariku mengusap air mata yang belum sempat terjatuh. Ah...selamat malam sang pemilik senyuman ramah. Telah lama kita terpisah oleh jarak. Namun aku selalu memperhatikan setiap kata yang kau tulis secara diam-diam. Memastikan keadaanmu dan terus mendo’akanmu. Meski mungkin kau tak pernah tahu.
Wahai pemilik senyuman ramah, andai kau tahu, cahaya yang dulu menerangimu mulai meredup. Tak lagi bersinar. Kini kabut telah menutupi kilaunya. Aku adalah satu dari sekian banyak manusia pendosa yang kini berusaha meraih pintu taubat-Nya. Aku hanyalah bagian dari Mozaik yang hancur lebur. Inilah hidupku, wahai pemilik senyuman ramah.Jadi maaf, bila aku hanya bisa membisu. Bukan berarti benci, tapi aku hanya sedang berbenah diri. Berusaha untuk lebih mengenal Tuhan. Berusaha membalut luka dari sayap yang patah. Sebab Aku malu padamu, wahai pemuda. Andai engkau tahu segala cerita pilu dibalik kerudung merahku, mungkin kau tak lagi sudi berteman. Atau bahkan akan kau beri aku tatapan paling sinis, bersamaan dengan senyuman kecut. Dan perlahan membuat ramahmu itu hilang dari hadapanku.
(Bersambung...)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Rasa (SUDAH TERBIT)
Romance"Ketika tetesan tinta menjelma bunga. Bunga menjelma aksara. Aksara menjelma sepenggal cerita. Tentang gejolak rasa yang haus akan dahaga. Tentang rindu yang selalu datang bertamu. Dan tentang problema cinta tanpa titik temu."