1. Terminal Kampung Rambutan

48.1K 6K 1.3K
                                    

Bus Damri dari Solo baru saja masuk terminal saat Sadewa menumpuk piring-piring kotor bekas pelanggan yang makan di warungnya. Mendengar deru mesin bus, Sadewa berhenti sejenak. Ia mengamati bus biru itu untuk beberapa lama. Sampai bus akhirnya berhenti dan para penumpang mulai keluar satu per satu.

Beberapa mulai berhambur untuk mencari angkutan atau taksi yang bisa mengantar mereka untuk sampai ke tujuan. Ada juga yang masih susah payah menata barang-barang yang dibawanya dari Solo. Tak jarang dari mereka ada yang berdiri cukup lama di samping bus. Entah mereka masih cukup asing dengan kota Jakarta atau mereka memang sedang kebingungan. Dan orang-orang jenis ketiga itu membuat Sadewa teringat pada dirinya sendiri.

Namun Sadewa sudah cukup muak untuk mengingat masa lalu. Jadi setelah kewarasannya pulih, ia mengangkat tumpukan piring dan membawanya ke bak cuci di belakang warung.

Dulu hidup Sadewa tidak sebaik sekarang. Dia cukup beruntung saat ada salah satu tetangganya yang menawarinya sebuah warung makan di sebelah Terminal Kampung Rambutan yang bisa dia sewa dengan harga murah. Tempatnya bukan terbuat dari semen dan batu kapur dengan ukuran besar, hanya warung dari anyaman bambu berukuran 6x7 meter. Namun setidaknya Sadewa berterima kasih. Karena berkat warung ini, ia bisa menyekolahkan Aryo sampai anak itu mau lulus SMA dan menunjang kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Meski tak jarang Sadewa harus makan hati sebab sifat Aryo yang memang terlalu banyak mau. Tapi mau bagaimanapun, Aryo adalah alasannya untuk hidup dan bertahan sampai hari ini. Tanpa Aryo, Sadewa tidak tahu bagaimana hidupnya akan berjalan.

"Wa, biasanya!"

Sadewa melongok dari ambang pintu saat Bang Jamal masuk ke dalam warungnya dengan raut wajah kecut. Supir taksi konvesional bertubuh gempal itu langsung membuka seragamnya begitu duduk. Menyisakan kaos putih oblong yang sudah bolong di beberapa bagian. Warnanya pun nyaris sama dengan warna giginya.

"Nasi campur pakai dadar ya, Bang?" tanya Sadewa, memastikan bahwa pesanan Bang Jamal masih sama seperti hari kemarin.

"Iye, es tehnya lu bikinin dua dah ya. Gila, hari ini Jakarta panasnya bukan maen. Neraka beneran bocor apa ya?"

Sambil menyajikan bakal makanan Bang Jamal di atas piring, Sadewa terkekeh. Laki-laki 27 tahun itu geleng-geleng kepala saat menemukan Bang Jamal merobek kardus air mineral lalu mengipasi perut buncitnya yang terlihat seperti akan meledak.

Hampir semua orang yang datang ke warungnya hari ini pasti mengeluhkan hal yang sama. Memang, hari ini Jakarta berada dalam suhu 38 derajat. Padahal 2 minggu kemarin hujan turun terus-menerus. Giliran panas, panasnya malah minta ampun.

"Setoran lancar, Bang?" Sadewa bertanya sesaat setelah ia meletakkan piring pesanan Bang Jamal. Dan seperti yang sudah Sadewa duga, Bang Jamal berdecak.

"Kagak, sama aja kayak kemarin. Hari ini aja gua baru jalan 2 kali ke Bintaro sama Cipayung."

"Disyukuri aja, Bang. Yang penting hari ini masih bisa makan."

Bang Jamal seketika terkekeh. "Elu belum kawin sih, Wa, makanya bisa ngomong gitu. Entar kalau lu udah kawin nih, bakalan beda. Bini gua kalau jatah belanja besok kurang, buaya Muara Angke bisa diperbudak ame dia."

"Kok gitu, Bang?"

"Ya gitu lah, Wa.. nasib dapat bini otoriter. Gua nih, tiap hari rasanya kek kerja rodi. Bini gue jadi tentara Jepangnye. Matanya saban hari melotoooot mulu." keluh Bang Jamal, sembari mengunyah makanannya sedikit demi sedikit.

"Dilem biru ajalah, Bang." dari luar Kang Udin menyahut. Supir angkutan langganan Sadewa itu bahkan tergelak mendengar keluhan Bang Jamal. Namun alih-alih menyetujuinya, Bang Jamal justru sewot.

Sadewa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang