6. Air Mata yang Mengering

16.3K 4.1K 922
                                    

"Entar gue kabarin lagi. Bilang sama Tito kalau gue nggak terima tanding apapun dalam minggu ini."

Sarka tidak mengatakan apa-apa saat Aryo turun dari motornya dan masuk ke dalam gang. Laki-laki jangkung itu bahkan tidak menoleh untuk melambaikan tangan seperti biasanya. Tidak peduli berapa lama Sarka bergaul dengan anak itu, ia tetap tidak mengerti. Aryo bukan tipikal laki-laki tertutup yang menyimpan rahasia besar. Ia gemar bercerita tentang hal remeh. Bahkan hubungannya dengan sang Kakak yang tidak begitu baik pun semua orang tahu. Tapi tak jarang Sarka merasa Aryo begitu tertutup. Jauh di balik tawanya yang kencang, Sarka merasa bahwa Aryo pasti menyembunyikan sesuatu tentang dirinya.

Namun Sarka hanyalah seorang teman biasa. Ia tidak punya hak apapun untuk memaksa Aryo bercerita padanya. Tapi ketika Aryo memintanya untuk menunggu saat itu tiba, saat dimana Aryo menceritakan semua rasa sakitnya. Sarka akan bersedia menunggu meskipun kawannya itu tidak berkata apa-apa.

Sementara pagi itu, Aryo berjalan gontai menuju rumah kontrakannya. Ia meraih kotak rokok dari dalam saku jaketnya dan tersadar bahwa rokok yang ia sedot subuh tadi adalah puntung rokok terakhir yang ia punya. Akhirnya, ia membiarkan bungkus rokok itu jatuh begitu saja ke dalam selokan yang berwarna pekat.

Hari minggu yang cerah bagi ibu-ibu untuk berbincang di hadapan gerobak sayur Kang Warkam. Aryo selalu melihat gerombolan itu berada tepat di depan rumahnya setiap jam tujuh pagi. Persis seperti pagi ini. Entah apa alasannya, tapi titik mereka berkumpul pasti akan berada persis di depan rumah Aryo.

"Lu tuh dari mana aja sih, Yo?"

Aryo sudah menduga bahwa kedatangannya akan disambut dengan ucapan sarkas yang terus bersahut. Aryo tidak begitu ingat siapa nama ibu-ibu yang demen sekali bergosip di depan kontrakannya itu. Ia hanya melewatinya begitu saja.

"Lu kagak kasihan apa Yo sama abang lu?" tatapan ibu-ibu sepenuhnya berlari ke arahnya bahkan setelah ia sampai di depan pintu. "Subuh-subuh udah bangun, ke pasar. Habis itu ke warteg, siapin jualan."

"Kasihan abang lu, Yo. Masih muda udah banting tulang kayak gitu cuma buat elu. Eh, elunya malah bergaul kagak jelas." ibu-ibu yang lainnya menyahut lebih provokatif.

"Elu tuh emang bener-bener ya, Yo. Bisanya tuh cuma nyusahin abang lu doang. Noh, abang lu lagi repot di warteg cari duit bakal lu makan sama sekolah, tapi lu jam segini baru balik. Lu beneran kagak kasihan apa sama abang lu, Yo?"

Memangnya apa pedulinya Aryo? Bukan dia yang meminta Sadewa untuk bekerja keras seperti ini. Bahkan sudah sejak lama Aryo berkata bahwa Sadewa sudah cukup dalam membesarkannya. Dia sudah tidak butuh apapun lagi dari laki-laki itu. Sudah sejak lama Aryo bisa mencari uang untuk biaya hidupnya sendiri. Dan Sadewa harusnya menyadari itu, tidak selamanya ia memikirkan Aryo. Mau bagaimana pun juga, ia harus memikirkan dirinya sendiri lebih dari ia memikirkan orang lain.

Suara ibu-ibu itu masih saja terdengar bahkan setelah Aryo merebahkan punggungnya di atas kasur. Padahal Aryo yakin, dengan kehadiran ibu-ibu ceriwis itu, dagangan Kang Warkam belum tentu laku banyak. Mereka berkumpul pagi-pagi sekali hanya untuk menyebarkan gosip atau membicarakan tetangga satu dan yang lainnya. Belanja sayur hanya jadi kedok belaka.

"Nih ya, Mpok..." Aryo mulai mendengar suara mereka lagi. "Kalau aja aye punya anak perawan nih, udah aye lamar itu si Dewa."

"Eh, aye juga begitu, Mpok. Tapi sayangnya aye kagak ada anak sama Bang Salim."

"Sadewa tuh udah ganteng, pekerja keras, rajin ibadah. Kalau aye balik perawan nih, Mpok, udah aye kejar itu si Sadewa."

Dan masih banyak lagi pembicaraan yang terdengar. Tapi alih-alih mendengarkannya lebih jauh, Aryo lebih memilih untuk memejamkan matanya. Ia akan tidur setidaknya satu atau dua jam. Jatah tidurnya semalam benar-benar kacau, ditambah sekujur tubuhnya yang rasanya seperti akan remuk.

Sadewa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang