WARNING!
Chapter ini hanya bisa dibaca oleh umur di atas 18 tahun. Segala macam bentuk kekerasan dalam skenario tidak untuk ditiru. Cerita ini adalah fiksi dan diharapkan kebijakan dari setiap pembaca.
***
Ternyata, keadaan rumah yang sempat ia tinggali dulu sudah tidak lagi sama. Kata Bang Togel, rumah reyot milik mereka dulu sudah dirubuhkan dan dibangun kembali menjadi rumah semi permanen. Tidak seperti dulu, rumah lama itu kini memiliki pekarangan--walau tetap tidak ada bunga-bunga indah yang tumbuh subur di sana. Hanya ada satu pot bunga kamboja, itu pun sudah terlihat sekarat. Sisa-sisa pasir bekas pembangunan nampak dipenuhi rumput liar, tanda bahwa Sutrisno tidak merawat rumahnya sama sekali.
Aryo masih berdiri cukup lama di seberang jalan, memperhatikan rumah tersebut dengan tatapan kosong. Sampai detik ini, ia bahkan tidak ingat bagaimana wajah ibunya, atau kenangannya bersama wanita yang telah melahirkannya tersebut. Namun beberapa bulan tinggal bersama Sutrisno dan istri sahnya, ada ingatan yang tidak bisa Aryo enyahkan sama sekali dari dalam kepalanya. Rumah mereka dulu bisa disebut tak layak huni. Penyangga atap bagian belakang bahkan sudah patah, ditendang tanpa tenaga pun sudah pasti akan rubuh. Tetapi sekarang, rumah itu terlihat lebih baik.
Setelah menarik napas yang cukup panjang, Aryo membenahi tas di pundak kirinya lalu berjalan menuju rumah Sutrisno. Keadaannya sepi, hanya ada suara kokok ayam dari halaman belakang. Saat memeriksa ke sana, Aryo menduga bahwa Sutrisno pasti judi sabung ayam. Itu terlihat saat ia menemukan 5 ekor ayam jago yang gagah di dalam kandang, dua di antaranya terlihat memiliki luka yang parah di bagian wajah dan kakinya.
Puas menilik halaman belakang rumah Sutrisno, Aryo berjalan ke depan. Dia sungguh tidak ingin menyimpan sopan santun untuk lelaki bejat seperti Sutrisno. Jadi alih-alih mengetuk pintu rumahnya, Aryo memaksakan diri untuk masuk. Beruntungnya, rumah itu ditinggalkan dalam keadaan yang tak terkunci.
Seperti dugaan Aryo saat mengamati bagian depan rumah ini, bagian dalam tak begitu banyak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tidak ada ruang keluarga. Rumah kecil ini hanya terdiri dari ruang tamu, dua kamar dan satu dapur. Aryo bahkan bisa mengamati seluruh isi rumah hanya dengan bediri di bagian tengahnya saja. Dinding rumah ini bahkan belum dikuliti sama sekali, masih memperlihatkan susunan batu-batu kapur yang kotor dan berdebu. Di dinding dekat pintu masuk, ada gambar tokoh pemuka agama--yang seingat Aryo, dari dulu gambar itu sudah ada di dinding bambu rumah mereka. Gambar yang selalu berpasangan dengan dua tulisan arab yang juga entah apa artinya. Sutrisno harusnya tidak perlu memajang hal-hal seperti itu di rumah ini. Toh dia juga tidak akan ingat dengan Tuhan.
Lalu di meja yang berada persis di belakangnya--Aryo tidak tahu apa fungsi meja itu di sana. Itu terlihat kosong, tidak ada makanan yang bisa menunjukkan bahwa rumah ini memiliki kehidupan. Untuk apa Sutrisno membangun rumah ini jika tidak ada kehidupan yang bisa ia lanjutkan sebagaimana mestinya? Anaknya kabur, lalu istrinya mati. Menyedihkan. Sementara di ruang tamu, ada televisi jaman dulu yang entah masih berfungsi atau tidak. Dulu sewaktu Aryo pertama kali datang ke rumah ini, televisi itu sudah ada. Hanya saja, tidak ada satu pun yang pernah menyalakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadewa✔
Short StoryPart of "Antologi Bulan Desember" Di antara 12 bulan yang ada, Sadewa paling suka bulan desember. Bulan dimana pohon-pohon flamboyan favoritnya mulai bermekaran. Bulan dimana hujan mulai kerap mengguyur daratan. Bulan dimana ia bertemu dengan Aryo. ...