12. Ayah, Jangan Sedih (END)

9.6K 2.2K 406
                                    

Di hari minggu yang terik, angin berhembus kencang. Membuat pohon-pohon kamboja yang tumbuh subur di atas taman pemakaman bergoyang-goyang hingga beberapa bunganya berjatuhan di tanah. Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu memungutnya satu. Setelah menatap bunga yang berada di tangannya dengan senyum lebar, ia kembali melangkah. Sepasang kaki kecilnya berhenti pada sebuah makam yang terletak persis di ujung blok. Itu adalah makam terakhir di blok B12.

"Om Aryo!!!" begitu sampai, ia memekik dengan suara girang. Tanpa berpikir panjang, ia duduk di tanah—walau risikonya dia akan diomoli habis-habisan oleh ibunya karena celananya yang kotor—dan mengeluarkan peralatan menggambarnya. Mulai dari buku gambar, pensil, sampai crayon dalam berbagai warna.

"Setelah aku pikir-pikir, aku nggak bakalan cocok jadi dokter. Soalnya kata ayah, jadi dokter tuh harus pinter. Aku mau jadi pemain sepak bola aja deh!" ucapannya terdengar riang. Padahal anak itu tahu bahwa segala hal yang keluar dari bibirnya hanya akan berakhir menjadi monolog.

Jihan tak begitu paham, kenapa dia jadi menyukai tempat ini alih-alih taman bermain. Padahal, dia sering sekali melihat teman-temannya bermain bersama-sama di taman komplek. Tetapi di sini, bersama Om Aryo, Jihan tak perlu beradu argumen dengan teman-temannya perihal permainan apa yang harus mereka mainkan. Atau, mereka tak perlu berebut pensil warna dan membuat salah satunya pulang dengan keadaan menangis.

Setahun yang lalu, ayahnya mengajaknya kemari. Memperkenalkan bahwa Om Aryo adalah sosok yang baik. Wajahnya tampan, persis seperti pemain sinetron yang sering ditonton Ibu setiap hari sabtu dan minggu. Sejak saat itu, bayangan Jihan tentang Om Aryo melambung tinggi. Selain ganteng seperti pemain sinetron, Om Aryo pasti pintar. Buktinya, ayahnya selalu bercerita tentang Om Aryo dan betapa baiknya laki-laki itu.

Sambil menganggambar kesebelas pemain sepak bola di buku gambarnya, Jihan bercerita panjang lebar. Tentang dia yang katanya akan punya adik baru. Tentang Nona, teman sekelasnya yang dia suka karena Nona selalu cantik dengan jepit rambut strawberrynya. Atau, tentang Galang yang selalu mengusilinya hanya karena dia cukup pandai dalam bidang hitung-hitungan.

"Ayah bilang aku boleh jadi apa aja yang aku mau." Kata anak itu, masih tidak lelah dengan mulutnya yang terus berceloteh. "Tapi aku tuh bingung Om Aryo! Semalam aku mimpi jadi pembalap. Apa aku jadi pembalap aja ya?" untuk beberapa lama, Jihan berhenti menggambar. Anak itu menoleh pada batu nisan di sebelah kanannya dan bertanya dengan tatapan yang cukup serius.

"Menurut Om Aryo, gaji pembalap sama pemain sepak bola lebih gede mana? Atau aku jadi artis aja? Kata Ibu, gaji artis youtube sekarang ngalah-ngalahin gaji guru." Karena tak mendapat jawaban, anak itu melenguh. Ia kembali menggoreskan ujung crayonnya pada gambar pemain sepak bola yang tadi sudah ia gambar.

"Temen-temenku selalu cerita ke aku kalau ayah mereka suka banget marah-marah, tapi kenapa ya ayahku nggak pernah marah-marah? Dulu, Om Aryo pernah dimarahin ayah nggak?" lagi, anak laki-laki itu mengeluh dengan wajah merengut. Jujur, ini agak kedengaran aneh, tapi dia iri saat teman-temannya dimarahi ayah mereka karena nilainya jelek.

"Kenapa ayahku berbeda ya Om Aryo? Kenapa ayah nggak pernah marah kalau nilaiku jelek? Harusnya ayah tuh marah! Jewer aku kek, atau jiwit kek!" keluh Jihan panjang lebar.

Pernah sekali, anak itu sengaja menendang temannya hingga menangis dan mengadu ke orangtuanya. Dengan harapan, orangtua temannya itu akan datang ke rumahnya dan membuat ayahnya marah besar. Memang benar, orangtua temannya datang ke rumah—melayangkan protes terhadap aksi tak terpujinya tersebut. Namun, alih-alih mendapat kemarahan sang ayah, Jihan justru melihat ayahnya itu hanya menghela napas panjang. Pun tak memberikan komentar apapun.

Tak ingin kehabisan akal, Jihan mencoba kenakalan-kenakalan lainnya. Dan sama seperti aksi-aksinya yang lain, ayahnya tak memberikan banyak reaksi. Dia tidak pernah dimarahi meskipun dia dengan sengaja memecahkan jendela kelasnya dengan bola kasti. Akhirnya, Jihan menyerah. Dia sudah tidak berulah lagi. Buat apa juga dia membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak menguntungkannya? Ayahnya pasti hanya menghadapinya dengan hela napas panjang dan wajahnya yang datar abis.

Sadewa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang