8. Sebab Aryo Anak Baik

8.3K 2.6K 434
                                    

Hingga sebesar sekarang, Aryo merasa tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkan dirinya dengan Sadewa. Memang, keduanya berbeda. Mereka terlahir dari darah yang berbeda, dari darah yang diinginkan dan darah yang tak diinginkan. Satu hal yang membuat keduanya seperti mengalir dari darah yang sama--ketabahan hati saat dunia memberi badai yang tak bertepi.

Malam ini, dinding kaca di itu menjadi pemisah pertama selama perjalanan kebersamaan mereka. Di balik kaca itu, Sadewa berbaring. Kehidupannya sekarang hanya dari belas kasih Sang Khaliq. Kepulangannya pun tak ubahnya bom waktu--dia bisa meledak kapan saja dan membuat Aryo menjadi hancur berkeping-keping.

Masih ditempat yang sama, Aryo membiarkan dirinya termangu. Ini sudah hari ketujuh semenjak ia menoleh ke belakang dan menemukan Sadewa terkapar dengan barang bawaannya yang jatuh berserakan. Pemuda itu masih belum juga membuka matanya, untuk setidaknya mengamuk seperti 6 bulan yang lalu karena Aryo bersikeras membawanya ke rumah sakit. Dari balik kaca itu, Aryo bisa melihat dan mendengar dengan sangat jelas bagaimana suara elektrokardiogram memberi tahunya bahwa kehidupan itu masih ada.

"Terus lo mau gimana, Yo?"

Aryo menarik napas panjang, lalu menunduk saat Tito menepuk bahunya dan melemparkan pertanyaan yang dia sendiri pun tidak tahu jawaban pastinya bagaimana. Nama Sadewa sudah lama dia daftarkan sebagai pasien penerima donor jantung. Tapi semua orang pasti tahu, butuh waktu yang sangat lama dan penantian yang tidak pasti untuk hal ini. Uang sudah ada. Segala hal yang Sadewa perlukan dalam pengobatan ini pun sudah Aryo persiapkan dari jauh-jauh hari, tapi semua yang ia lakukan kalah dari betapa keras kepalanya Sadewa.

"Nggak usah repot-repot cari duit sebanyak itu. Toh akhirnya semua bakalan mati juga." Kata Sadewa waktu itu.

Tuhan tahu bagaimana Aryo menyayangi Sadewa selama ini, tapi Tuhan juga pasti tahu betapa bencinya Aryo setiap kali Sadewa bersikap keras kepala dan selalu memikirkan orang lain alih-alih dirinya sendiri.

"Semua orang pasti bakalan mati, Mas. Tapi Tuhan pasti menghargai orang-orang yang nggak mudah menyerah dan mau memperjuangkan hidupnya sendiri."

"Memang, tapi kita dapat uang sebanyak itu dari mana, Yo?"

"Aku bisa cari."

"Nggak usah ngaco! Lebih baik sekolah aja yang bener."

"Apa dengan sekolah yang bener, aku bisa bikin Mas Dewa hidup yang lama?"

"Seenggaknya Mas Dewa bangga. Mas bangga bisa sekolahin kamu sampai kuliah, sampai kamu jadi orang sukses. Sampai nggak ada lagi yang bisa merendahkan kamu!"

"Terus apa gunanya sukses kalau Mas Dewa nggak ada?! APA GUNANYA?!"

Aryo punya banyak sekali ingatan dengan Sadewa. Termasuk percakapan di malam pemadaman bergilir bertahun-tahun yang lalu. Percakapan dimana akhirnya hubungan mereka terasa tidak lagi sama. Percakapan yang akhirnya membuat Aryo bersikap seenaknya hanya untuk mendapatkan banyak uang dan Sadewa bisa sembuh dari penyakit jantung sialan itu.

"Gue juga nggak tahu. Dokter bilang masih belum ada pendonor." Ucap Aryo. Nadanya terdengar sangat putus asa. Namun sesaat setelah itu, pemuda itu terkekeh. "Jahat banget nggak sih, Tit, kalau sekarang gue berharap ada orang yang mati supaya Mas Dewa tetap bisa hidup?"

"Gue ngerti gimana perasaan lo sekarang, Yo, tapi kita tahu transplatasi jantung juga nggak segampang itu." Tito berujar rendah. Sejak bermenit-menit yang lalu, dia hampir tidak berhenti merangkul pundak Aryo dan memberikan pemuda itu sebuah kekuatan.

Tito hanya orang asing yang secara tidak sengaja bertemu dengan Aryo dan mengenal anak itu dengan alasan yang tidak biasa. Sedikit-banyak Tito bisa memahami betapa ketakutannya Aryo selama ini. Anak itu hidup dalam bayang-bayang kematian kakaknya. Kapan pun, Tuhan bisa saja merenggut satu-satunya harta berharga itu tanpa persiapan apapun.

Sadewa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang