This work written for #PHOSPENEWYEAR
***
Selamat tahun baru, selamat menderita.
Bunga api yang menari-nari di atas sana cantik sekali. Guratnya menghias langit gelap yang kelihatan muram, karena bulan tidak muncul dengan sinarnya yang temaram. Tapi kembang api yang meluncur naik ke atas sana sudah cukup buat indah, nyaris-nyaris menyaingi cahaya gemintang yang cuma berupa titik-titik koordinat nan buram.
Jeongguk lihat lagi. Bukan ke atas, bukan ke langit. Angkasa sudah terlalu sering dipuji, mungkin sampai bisa menyombongkan diri. Jeongguk menunduk untuk menatapi pantulan bunga-bunga api yang meledak-ledak sepenuh hati. Riak sungai tidak pernah berhenti, membuyarkan cerminan langit yang terus penuh sedari tadi. Mungkin memang sudah terlalu malam untuk memandangi hal-hal seperti ini, tapi ini tahun baru, kan? Hari yang seharusnya penuhi bahagia, tapi, toh, jembatan ini selalu sepi. Ditambah dengan pertunjukkan kembang api di alun-alun kota membuat segalanya lebih menyedihkan lagi.
Pria berpakaian serba hitam itu menghela napas. Manusia, manusia, pikirnya. Jeongguk telah melewati hal ini berkali-kali sampai mati rasa hatinya. Ini tahun ke... berapa, ya? Seratus? Seribu? Jeongguk tidak lagi menghitung. Percuma saja. Toh, mau dihitung sebanyak apapun hidupnya akan tetap sama. Hidup dan mati. Hidup atau mati? Tidak tahu juga. Jeongguk tidak hidup atau mati. Di antara bayang hitam, di tengah gelap malam, pada hasrat manusia yang muram maka dia bersemayam. Maka dia hidup sekaligus mati.
Ah, mati. Bagaimana rasanya mati? Jeongguk berpikir keras. Semakin dipikir semakin ingat kalau dia tidak pernah mati. Jadi bagaimana rasanya? Semakin direnungi malah semakin buat pusing.
"Apa kamu ingin melompat juga?"
Sebuah suara mengudara. Lembut dan tinggi. Jeongguk tatap dia, si lelaki misterius yang tiba-tiba datang menghampiri. Surai sehitam jelaga dengan kulit putih pucat dan mantel kusut coklat. Namun begitu kedua pipinya merah merona, mungkin karena suhu rendah dan salju yang terus menghujani seluruh kota. Si pria yang tadi mendongak kini menengok menghadap Jeongguk, tepat menatap matanya.
"Bukannya kamu ingin melompat?" Dia bertanya lagi. Jeongguk tetap bisu. Kali ini si pria mengalihkan pandangan untuk menatapi udara beku di kehampaan. "Aku juga sama. Harusnya sudah kulakukan dari kemarin."
Tatap Jeongguk semakin lekat. Ditatapnya dalam-dalam detail yang melekat pada pria itu; mantel coklat kusut dan rambutnya yang acak-acakan, atau pada tangan yang gemetar di dalam saku yang hangat. Sekilas ketika bertatapan dilihatnya sepasang orbs coklat itu bersinar redup. Kehilangan sinarnya. Netra yang tampak putus asa berasal dari wajah yang merah merona. Jeongguk jadi bertanya-tanya.
"Kenapa?"
Sekilas dia tidak tampak akan menjawab. Napasnya menghasilkan asap tipis yang mengudara di gelap muram. Sekali lagi, dua manik coklat itu menatap miliknya yang selegam malam. "Kenapa? Well, singkatnya aku kehilangan semua tahun ini."
Semua yang apa? Jeongguk hanya bisa menerka. Mungkin uang. Atau keluarga. Atau cinta. Atau semua itu? Tidak tahu. Namun terjawab sudah asal derita yang dimiliknya. Si pria tanpa nama, yang membawa aroma kesedihan dan memikul bayang gelap di kedua pundak yang ringkih. Yang sanggup membawanya datang pada jembatan keputusasaan alih-alih meniti langkah pada kemegahan akbar yang ada di tengah kota.
"Aku benar-benar takut. Sejujurnya aku takut mati, tapi aku harus, bukan begitu? Tidak ada banyak waktu lagi. Setidaknya aku harus mengakhiri semuanya tahun ini, jadi aku tidak punya satu tahun lagi untuk menderita," katanya. Untuk orang yang mau membunuh nyawa, dia terlihat terlalu tenang. "Omong-omong namaku Jimin. Apa kamu mau melakukannya bersama? Terjun dengan seseorang kedengarannya lebih baik daripada sendiri, ya kan?"
Jeongguk tersenyum tipis. Diperhatikan lagi si pria bernama Jimin, detail-detail wajahnya yang manis tapi kehilangan binar. Bibirnya tidak sepucat kulit yang melapisi tubuh, karena Jeongguk tahu dia sedari tadi kerap menggigiti dua labium itu. Jeongguk mendekat, memperpendek jarak yang membentang di antara mereka. Besi-besi jembatan tua berderit sepanjang kakinya melangkah. Pun begitu tidak membuatnya goyah, tidak membuat pria pendek di ujung sana mengalihkan pandangan dari sungai beku di gelap malam. Langkahnya berhenti ketika mereka berjarak sejengkal. Bahu keduanya bersentuhan, sedikit membuat kehangatan.
"Kamu tidak perlu mati," Jeongguk bilang. " Toh, walaupun tahun ini sulit, kamu berhasil melewatinya, kan? Kamu masih di sini, bernapas, hidup. Tau kenapa Tuhan membuatmu takut melakukannya? Itu karena Dia tau kamu bisa bertahan, bukan begitu?"
Si lelaki, Jimin, tidak menjawab. Tidak juga menengok. Tidak memberi respon berarti tapi Jeongguk tahu apa yang dia pikiri. "Menyerah bukan hal yang keren, kan? Lebih keren kalau kamu balas dendam pada takdir. Nanti kamu bisa pamer, menyombongkan diri, mengacungkan jari tengah, mungkin juga maki-maki--atau makan sushi. Semua hal yang mau kamu lakukan, yang kamu pikir mustahil. Yah, itu semua gak akan kejadian kalau kamu tetap ingin berhenti, sih."
Tawa kecil yang renyah masuk telinga Jeongguk. Indah. Mengingatkan Jeongguk pada melodi suara surga. Ah, berlebihan. Tapi, toh, Jeongguk memang selalu begitu. Selalu mengaggumi hal indah dengan begitu intimnya. Tidak ada bedanya dengan sekarang. Jimin balik menatapnya. Redup itu masih di sana, tapi ada secercah binar lain yang Jeongguk lihat di lautan mata coklat. Sama cantiknya. Sedikit harapan di tengah badai keputusasaan.
"Awal yang baru?"
Jeongguk mengulurkan tangan. Jemari-jemari pendek yang dingin menyambut miliknya yang dihiasi guratan tinta hitam. Pria itu menautkan tangan mereka, memberi kehangatan yang dia tahu si lelaki lain butuhkan untuk tangannya yang gemetar. Jeongguk menarik Jimin mendekat yang tanpa jarak, mendekapnya seakan itu hari terakhir mereka. Seakan itu bukan pertemuan pertama dua insan yang berbeda.
Lalu mereka melompat.
Di langit, bunga api menari-nari. Semakin banyak, semakin penuh warna, semakin bising. Di kejauhan suara terompet yang ditiup bersama menggema bersama teriakan angka para manusia. Samar, ikut terdengar suara jam dari menara di tengah kota. Teng teng teng. Berbunyi dua belas kali. Artinya selamat tahun baru. Selamat tahun baru dan selamat menderita--atau selamat berbahagia.
Jimin mendekap pria itu erat selagi jatuh menuju kehampaan. Ketika jatuh yang menyambutnya bukan riak air sungai, atau dingin yang membeku, atau tumpukan kristal es dan salju. Yang menyambutnya adalah dekap hangat, dekap hangat yang terasa seperti rumah. Rumah yang ia pikir tidak akan pernah ia punya. Seperti perapian di malam natal, seperti bunga api yang meletup-letup di kanvas antariksa. Dalam dua puluh lima tahun hidupnya, Jimin tidak mau menyerah.
Dalam seribu tahun hidupnya, Jeongguk tidak pernah merasa sehidup ini. Maka ketika dia mati, dia ingin lahir kembali. Lahir untuk mencintai pria yang sama lagi.
Selamat tahun baru, selamat awal baru.
END
untuk endingnya, silakan diterka sendiri xixixi. Happy new year everyone! Semoga tahun ini lebih lebih lebihhhh baik dari sebelumnya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
antariksa ° vminkook
Fanfickatanya, antariksa itu tak terbatas. © kookmicin 14092017 vminkook