2. Seha, Ara dan Embun

499 72 103
                                    

Seha merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah pulang mengajar. Dia kira hari ini hanya interview saja. Ternyata dia diterima dan langsung mengajar. Apalagi pimpinan ikut melihat. Sempat grogi, padahal dulu di pesantren pernah praktik mengajar.

"Kamu keren kok. Abi suka cara kamu ngajar," puji Fauzan.

Riza Fauzan Akbar adalah senior di kampus Seha yang sedang menempuh kuliah S2 Jurusan Ekonomi Syariah. Seha bisa mengenalnya berkat mengikuti kajian Ekonomi Islam yang diadakan kampus. Kebetulan Fauzan yang mengisi. Jika bukan karena mengikuti kajian, mungkin Fauzan tidak akan mengenalnya. Seha sendiri sedang menempuh kuliah S1 di Fakultas Tarbiyah semester satu di kampus yang sama, yaitu Universitas Al-Kahfi di Jakarta.

Semenjak pertama kali mengikuti kajian, Seha sudah tertarik dengan Fauzan. Bagaimana tidak? Tampan, pintar, berwibawa, dan satu lagi, masih muda dan single. Semua pasti terpukau dengan hidung mancung, tatapan kedua bola mata yang teduh, kedua bibir tipisnya yang selalu tersenyum, ditambah dengan janggut tipis di dagunya yang terlihat kontras dengan kulit putihnya.

Banyak mahasiswi S1 yang tergila-gila dengannya. Bahkan sok-sokan pergi ke gedung pascasarjana dengan alasan perpustakaannya lebih lengkap. Padahal hanya berharap bisa bertemu dengan Fauzan.

Seha yang tertarik dengan seniornya itu membuatnya aktif dalam kajian. Selalu bertanya dan menjawab pertanyaan. Mungkin itu yang membuat Fauzan tertarik menawarinya untuk mengajar di pesantren milik abinya.

"Seha, kamu lulusan pesantren mana?" tanyanya pada saat itu.

"Pesantren Al-Mansurah, Kak."

"Oh, yang di Jawa Barat ya."

Seha mengangguk.

"Saya dengar di pesantren itu terkenal tahsin dan tahfiznya bagus. Kebetulan di pesantren milik orang tua saya ada program tahfiz setiap sore. Masih butuh guru perempuan. Tertarik nggak?"

Mata Seha langsung berbinar. Tidak sia-sia usahanya selama ini aktif di kajian. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa berbincang dengan Fauzan meskipun hanya seputar kerjaan.

"Seha, makan dulu!" teriak Danita.

"Iya, Ma. Mau sholat Isya dulu."

Usai mandi dan sholat, Seha ikut bergabung dengan keluarganya yang sedang makan malam sambil menonton tv.

"Gimana tadi ngajarnya, Dek?" tanya Dira, kakak sulungnya Seha.

"Seru sih ngajarnya. Tadi sempet grogi karena dipantau langsung sama pimpinan."

"Ya baguslah. Nanti seenggaknya ada pengalaman," ucap Zay, babehnya Seha sambil mengunyah jengkol balado buatan istrinya.

"Iya nanti bakal gampang skripsinya kalau ada pengalaman ngajar. Tapi ada yang nyebelin. Masa santri yang jaga gerbang kegenitan. Mana orang salam kagak dijawab."

"Kegenitan gimana?" tanya Dira.

"Ya genit gitu. Ngerayu-rayu Seha."

"Sok kecakepan lo!" Ghani, adik bungsunya melemparnya dengan bantal.

"Ih, kebiasaan lempar-lempar! Sarung bantalnya jadi kena sambel kan!"

Mulai lah pertengkaran yang sudah biasa terjadi. Seha sudah biasa tidak akur dengan adiknya.

Seha merupakan anak kedua dari Babeh Zainudin (biasa dipanggil Babeh Zay dan bakal marah jika dipanggil Udin) dan Mama Danita. Kakak sulung Seha bernama Indira Maharani sedang menempuh S2 di kampus yang sama dengan Seha. Sedangkan adik bungsunya, Abdul Ghani Mustafa sedang menempuh kelas 10 di Madrasah Aliyah.

Rangga Bukan PujanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang