11

23.7K 1.5K 403
                                    

Ikut berduka atas musibah dan bencana yang menimpa saudara kita di berbagai daerah mulai dari jatuhnya Sriwijaya Air, gempa, banjir sampai tanah longsor. Ujian terasa semakin berat ditengah pandemi yang belum juga usai. Mari sama-sama jaga kesehatan, keselamatan dan kesabaran. Jangan mudah terpancing dan terhasut oleh berita-berita hoax yang ingin memecah persatuan.

Maafken juga kalo up date nya sekarang sering molor. Idenya mampet, moodnya turun dan sibuk dadakan di dunia nyata adalah kombinasi paling tepat yang menjadi alasannya. Aku rasa semua penulis pasti pernah mengalami hal ini dan aku salut banget pada mereka yang bisa bangkit dan tetap konsisten dengan story yang mereka buat. Berharap aku juga bisa seperti mereka.

Selamat membaca...

"Kau terlihat lebih kurus."

Tangan lentiknya terulur mengelus wajahku membuat jantungku berdetak kencang. Aku merindukan ini, sangat.

"Aku harus konsultasi dengan ahli gizi setelah ini. Aku suka Richard yang dulu."

Ada nada merajuk dalam suaranya membuatku terharu.

"Katakan sesuatu, Ric."

Aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang tercekat.

"Sayang..."

Dia tersenyum lembut.

"Kau masih mencintaiku?"

Aku mengangguk dan kulihat dia merengut kesal.

"Aku tidak mendengarnya."

"Aku mencintaimu, Sayang."

"Aku juga."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Jika tidak aku tidak akan kembali."

Aku tak mampu mengendalikan diriku lagi. Aku memeluknya dengan erat dan menangis haru. Sera membalas pelukanku dan menangis bersamaku. Lama setelahnya dia menjauh dan kami saling menatap. Kali ini aku yakin dia menatapku penuh cinta. Tak ada lagi ketakutan dalam tatapannya.

"Aku menjalani terapi selama setahun ini sekaligus untuk mengetahui bagaimana perasaanku yang sesungguhnya padamu."

Aku tidak terlalu menyimak kata-katanya karena yang kulakukan hanya menatapnya sepuas hatiku. Dia kembali. Dia mau hadir dalam mimpiku. Jadi jika aku mati sekarang kami benar-benar akan bersama kan?

"Kau sudah percaya kan, Kakak Ipar? Kak Richard tidak akan marah."

Suara Clara membuatku terkejut dan menoleh ke arahnya. Dia tengah bersedekap di pintu dapur sambil tersenyum kearahku. Aku kembali menatap Sera dan merasa lega karena dia masih disana. Aku kembali menatap setiap lekuk wajah Sera mengabaikan Clara.

"Astaga! Berhentilah menatapnya. Semua sudah menunggu di kebun belakang."

Sera tersenyum melihatku tak merespon ucapan Clara. Aku mengaduh saat tahu-tahu Clara mencubit pundakku meninggalkan rasa panas di sana.

"Aku tahu kau berpikir ini mimpi, Kak. Tapi kuharap rasa sakit cubitanku membuatmu sadar kalau ini nyata. Kak Sera nyata, bukan ilusi atau mimpi."

Aku terdiam dan otakku tak bisa mencerna kata-kata Clara. Dia memukul bahuku kesal membuat Sera tersenyum sendu dan semua seolah menjauh dan samar dalam pendengaranku. Aku hanya bisa menangkap gerakan bibirnya yang mengucapkan kata maaf.

Tangannya terulur menyusap pipiku dan kulihat dia memejamkan mata saat aku juga mengusap pipinya dengan lembut. Hangat. Wajahnya terasa hangat di telapak tanganku dan aku baru menyadari itu. Tangan Sera menyentuh tanganku yang sedang menangkup wajahnya. Hangat, tangannya hangat. Tenggorokanku tercekat dan bisa kurasakan sekujur tubuhku merinding. Ini tidak mungkin!

JUST YOU AND METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang