Satu : Mas Galak

38 6 8
                                    

Merutuki kebodohan tentu tak akan menyelesaikan masalah, setidaknya itu yang ku mengerti setelah sebulan memulai masa pekuliahan ini.

Sudah ku siapkan mental dan mencoba menerima kenyataan bahwa saat ini aku menjadi salah satu mahasiswa jurusan biologi.

Ibu selalu sabar mendengar curhatan tak berujung  bahkan menyemangati dengan kalimat-kalimat positif khasnya “Nggak papa kak, itu keren loh kampusmu. Kamu beruntung dan disayang allah kan. Kamu bisa jadi dosen dan jadi professor seperti keinginanmu, tenang aja masa depanmu nggak mungkin suram kok”.

“Ibu tau kan, aku nggak bisa ngajarin orang, yang ada orangnya bengong dan nggak paham sama apa yang aku ajarin. Udah ya, taun depan aku nyoba tes SNMPTN lagi. Aku nggak mau disini, ini beneran jelek banget gedungnya, fasilitasnya payah, nggak kayak nama univnya yang keren, please bu. Izinin ya. Aku udah kayak mayat hidup setiap kali dateng kuliah, bengong doang liatin dosen ngejelasin. Nanti kalo aku gila gimana coba. Aku nggak suka biologi bu, beneran ini bukan bidang ku” bulir-bulir hangat sudah membasahi pipiku.

Menangis dan menangis sudah menjadi hobi ku seminggu ini dan ibu selalu menjadi pendengar setia yang memberikan semangat untuk ku.

“Ibu melahirkan kamu untuk menjadi pemenang, bukan pecundang. Jadi jangan takut ya. Kamu berjuang, ibu pun berdoa. Nanti ibu bantu minta sama yang Mahaesa untuk membimbing kamu, jangan galau gitu nak, kamu seperti habis diputusin pacar aja, sedihnya itu loh bisa lama banget. Mendingan makan yang sehat dan bergizi biar nggak kering kerontang” ibuku memang ajaib. Selalu berpikiran positif memandang cerah masa depan, aku iri sebenarnya.

Awalnya ku pikir sangat tepat memilih kota dan kampus ini, jauh dari rumah dan pastinya akan jarang pulkam. Namun yang membuatku sedih adalah kenapa gedungnya teramat jelek, ditambah lagi saat pertama kali praktikum, laboratorium yang ku masuki sungguh mengenaskan. Meja tua, mikroskop jaman purba dan apa-apaan harus mengantri pula.

Sebelum berangkat praktikum aku sudah tersenyum membayangkan lab yang bersih, meskipun gedungnya kuno sekali tetapi jika peralatan praktikumnya bagus nggak papa pikirku.

Setidaknya tiap meja dilengkapi satu mikroskop dan aku bisa bereksperimen bahagia. Namun, mengecewakan. Jadilah aku terduduk lemas dan tanpa daya.

Siang ini mentari menyinari dengan begitu bersemangat berbanding terbalik dengan aku yang loyo dan lunglai.

“Di, semangat dong. Nanti praktikumnya nggak lama kok, bentar doang. Kemaren Tsania cerita ke aku” Amini teman baik ku dan tetangga kosan yang penuh perhatian menyemangati ku.

“Iya, semangat kok, cuma ini panas banget. Bisa meleleh aku” aku tak berbohong, bulir-bulir keringat sudah membasahi tubuhku, sambil menyeka keringat ku amati lalu lintas yang lumayan padat, banyak mahasiswa berjalan kaki menyusuri trotoar sepertiku.

Nampaknya mereka menuju tempat yang sama denganku. 450 anak dalam satu angkatan cukup banyak hingga tak heran jika aku tak mengenal mereka satu persatu. Apalagi mahasiswa sepertiku yang disebut “kupu-kupu” kuliah-pulang-kuliah-pulang.

Apa yang harus aku perjuangkan hari ini, berdebat dengan asisten praktikum sudah menjadi hobi ku, mereka terlampau menyebalkan.

Mas Angga, memang rupawan tapi kenapa dia selalu memarahiku, bahkan tatapannya sungguh menyebalkan. Memangnya aku penjahat yang harus ditatap seperti itu pikirku.

Saat memasuki lab aku hanya berjalan gontai, ekor mataku sudah menemukan si menyebalkan Angga, dia semangat sekali sih udah berdiri di samping pintu sambil nggaya gtu, dikira keren kali ya nyebelin banget iya, rutuk ku dalam batin.

“Diandra Aleansyah” panggilnya.

Nyebelin banget harus ketemu dia duluan, kenapa nggak mas Alfi aja sih yang nyambut praktikan, kan dia lebih ramah ketimbang si perfeksionis ini keluhku.

”Jas labnya udah dicuci belum? Saya nggak suka kalo praktikan nggak rapi” dia memandangku dengan tatapan kesal dan nada bicara yang dibuat-buat ramah itu terkesan mengejek. 

Aku yakin dia sedang menghinaku, dasar kating rese, apa sih masalahnya denganku hingga memarahiku di depan khalayak ramai begini. Dia ingin menguji kesabaran ku rupanya.

Lihat saja, aku bukan orang yang mudah terpancing emosi. Catat itu.

“Sudah kak, bahkan sudah saya laundry kok” ucapku sambil tersenyum manis sekali dengannya. Dia mengangguk paham.

Syukurlah tidak diperpanjang mode mengamuknya.

Baru saja aku melangkah dia berteriak kembali “Diandra, siapa yang nyuruh masuk”

“Maaf, apa apa lagi kak” ucapku sesopan mungkin. Belum usai rupanya drama siang ini.

“Sepatu kamu kenapa warna kuning? Kamu bukan Minion, jadi jangan pake sepatu kuning!!
Peraturannya bersepatu putih!! Ingat baik-baik. Minggu depan kalau kamu ulangi kesalahan ini saya pastikan nilai praktikum kimia dasar mu D” hardiknya dengan semangat menggebu-gebu dan jangan lupakan kilatan kemarahan yang jelas terlihat di matanya.

Dasar monster pikirku. Jelas-jelas nggak keliatan juga tali sepatu ku.

Ketutupan celana kulot prisket loh. Kok bisa dia liat sih, itu mata bermasalah masa bisa lebih jeli dari matanya si Ami deh.

Parah aghh!!

“Baik kak, terima kasih atas pengertiannya ” ucapku yang semakin kalem dan sopan saja.

Padahal ingin sekali ku tonjok mata menyebalkan itu.

“Masuk, jangan bikin ulah lagi” dengan gerakan mengusir dia menyuruhku masuk.

Dasar nyebelin pikirku, emang aku ayam?

Hentakan kaki ku memang tak terlalu kentara, tapi aku yakin dia pasti menyadari kekesalanku. Dengan wajah ditekuk berkali lipat aku duduk  sambil terus mengumpat padanya.

Angga, Airlangga nyebelin, semoga pas pulang ketemu burung hantu dan intilin sampe kosan.

Berang-Berang Pengabdi CilorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang