Dua : Drama Pagi

27 6 2
                                    

Dering ponsel membangunkan ku dari hibernasi panjang, sepulang kuliah aku memang tak beranjak kemana pun, makan malam ku lewatkan begitu saja.

Tidur adalah hal terbaik saat ini, tubuhku sudah lelah melayani tugas-tugas yang begitu setia menemaniku, seperti pacar saja pikirku.

Dengan malas-malasan ku raih handphone di nakas.

“Siapa” tanyaku, tentu saja dengan kantuk yang menyelimuti.

“Di, bangun udah siang, anak gadis nggak boleh bangun siang-siang, nanti jodoh di patok ayam loh. Ayo sarapan, soto pak Nanto enak loh sambil nyeruput es jeruk, uhh pasti seger deh. 15 menit lagi aku jemput, buruan siap-siap jangan lupa gosok gigi!!”.

Suara Amini sudah seperti radio rusak di telinga ku, cerewet sekali tapi tetap saja tak bisa ku tolak.

Dia sudah seperti toket bernyanyi jika ku tolak.

“Hemm, bawel banget sih pagi-pagi” ketusku

“Diiii, sadar. Udah siang. Cepetan mandi” lalu setelahnya telpon terputus.

Dasar Ami nyebelin, maksa-maksa lagi.

Baru saja hendak ku tutup netra ku, denting ponsel berbunyi kembali.

Ini pasti ibu, pikirku

001
Assalamu’alaykum cintaku,
Sudah sarapan?
Pagi ini makan apa cinta?
Sambut hari dengan senyuman dan kebahagiaan yaa.
Ibu sayaaang banget sama kakak.
I love you ^^

Hoam, mau tak mau harus ku urungkan niat untuk berbaring kembali di kasur, meski hanya 5 menit, sungguh tidur pagi itu membahagiakan.

Aku tak bisa membalas pesan ibu jika belum sarapan, bagaimana pun berbohong bukan kebiasaanku.

Ami datang 3 menit lebih awal dari ucapannya, atasan halterneck dengan celana jeans boyfriend dan jangan lupa sepatu boots heels memang memberikan kesan kaki lebih jenjang dan tinggi untuknya.

Namun tetap saja itu berlebihan, jengah sekali melihatnya.

“Aminiii, cuma mau makan soto Pak Nanto loh, ngapain pake boots heels segala, ini kita jalan kaki loh. Keserimpet baru tau rasa” cibirku

”Didii sayang, makan pagi tetep harus cantik kan? Siapa tau ketemu jodoh, kayak mas-mas ganteng minggu lalu, duh, jadi inget kan. Mas yang suamiable itu loh, inget kan?” benar-benar ceriwis luar biasa jika sudah urusan fashion.

“Hemm, karepmu lah” timpal ku kesal. “Ayo berangakat, jangan lelet” sambung ku sebelum dia kembali memberikan pidato pagi kembali.

Meskipun menyebalkan, Ami adalah sahabat baik ku, setidaknya dia setia sejak SMA dan sudah dekat dengan keluargaku, demikian juga dengan ku. Sehingga sulit bagiku mengabaikannya.

Bahkan dia sangat peduli padaku, contohnya sekarang sudah menyiapkan payung padahal masih jam 06.30 WIB.

Sangat pagi untuk mengenakan payung, apalagi cuacanya masih mendung begini. Baiklah, aku meleleh untuk perlakuan manis ini.

“Cari meja yang strategis buat nongkrong ya, ntar aku yang pesen. Kamu mau apa?” gercep banget kalo urusan pesan memesan makanan, itulah Ami.

“Sop campur, ga pake garem dan MSG. Sama Es jeruk, inget jangan kemanisan” ucapku.

Sebenarnya Ami sudah sangat paham selera ku, aku tau dia bertanya hanya ingin memastikan, sebab setiap kali mengunjungi tempat ini hanya itu menu yang ku pesan, tidak pernah berubah.

“Siyaap, Didi ku sayang. Kamu bisa andelin aku untuk urusan ini” tuturnya.

Kulihat dia sudah membaur dengan pelanggan lainnya yang sedang mengantre, memang tempat ini buka paling pagi dan tutup lumayan malam, sehingga mahasiswa pasti suka.

Meskipun menu yang ditawarkan hanya dua, sop dan soto namun beraneka varian.

Sambil menunggu Ami, aku sibuk berselancar. Setidaknya hari ini aku harus belajar untuk SNMPTN kembali pikirku.

Tahun depan pasti akan berat jika tak ku cicil dari sekarang, gimana pun aku bisa lupa dengan materi sekolah.

Maklum saja aku tak sepintar Iman Usman atau Maudy Ayunda. Setidaknya aku harus beruntung pikirku.

Aku sibuk mengerjakan beberapa soal, hingga tak kusadari Ami sudah di depan ku dengan wajah cemberut, keningku mengernyit bingung.

Ku letakkan handphone dan bersandar di kursi, mata ku mulai fokus padanya “Kenapa? Nggak ada yang dipesen?” tanyaku.

“Taun depan mo pindah jurusan? Aku sendirian dong. Kamu mau ninggalin aku? Tega kamu Dii. Emangnya  yakin bisa nemu sahabat yang baiknya kayak aku gini?”

tentu saja aku melongo mendengarkannya. Berlebihan sekali, sampai harus berkaca-kaca begitu pikirku.

“Udah jangan nangis, nanti luntur loh bedaknya. Aku Cuma mo nyoba aja kok, kan belum tentu keterima juga. Masih di sini, bareng kamu juga kan? Beda kosan doang, jaraknya aja nggak nyampe 20 langkah” aku melunak, bagaimana pun dia sahabatku, tak boleh menangis karena bersedih.

“Ibu bilang kamu masih pengen nyoba astronomi, kalo keterima kan jauh Dii” dan air mata meleleh dengan deras. Isak tangis bisa ku dengar.

Aku buru-buru menyodorkan tisu padanya, tisu toilet yang ada di meja ini tentunya.

“Eh,. eh jangan nangis, luntur loh. Kasian itu make up mu” ujarku sambil terus memberikannya tisu.

“Kok malah lebih perhatian ke make up ku sih, Diiiii. Nggak berperasaan banget deh” katanya.

“Eh, pikir deh. Kalo make up mu luntur dan ada mas-mas ganteng, ntar mas-mas gantengnya nggak jadi mo PDKT sama kamu loh. Kan gagal rencanamu mo tebar pesona pagi ini” aku berusaha meyakinkan untuk fokus pada kondisi make up nya. Tentu saja hanya pengalihan fokus saja.

Dia mencoba tenang, tari napas-hembuskan-tarik napas-hembuskan demikian yang dilakukannya.

Tak lama datang mas-mas bertulang lunak yang mengantarkan pesanan.

“Mbak Amii yang cuantek, kenapa murung gitu, ihh kasian loh bunga-bunga pada bersedih kalo mbak cemberut gitu” Mas Anto memang ramah dan perhatian tentunya.

“Nggak papa kok mas, Amii sedih gegara kelamaan mas nganterin pesenannya, dia udah laper banget loh mas” sambil cengengesan aku memberi tahu mas Anto, tentu saja aku bercanda soal yang tadi.

“Ya allah maafkeun mamas Anto yang lelet ini ya, besok-besok akan secepat kilat kok nganterin pesenan mbak Ami yang baik hati ini. Yo wes monggo dahar mbak. Saya permisi dulu” mas Anto pamit undur diri.

Aku yang sejak tadi sudah tenggelam dengan sop campur hanya menggeleng melihat Ami yang sibuk membuat tornado di es jeruknya.

“Buruan makan, ntar dingin. Jangan mikirin hal-hal yang belum tentu kejadian. Toh aku masih di sini, lagi makan sop malah” ungkap ku

Masih belum ada pergerakan “Amini Mahardika Prameswari, buka mulutnya, cepet!!!” aku sudah bersiap menyuapi sebelum dia melotot karena perbuatan ku ini.

“Pilih, makan sendiri ato aku suapin?” tentu saja dia menolak disuapi, bukan karena apa-apa hanya saja malu, beberapa pasang mata sudah mulai menatap kami.

“Aku makan sendiri! Kamu harus jelasin rencana setahun kedepan sama aku” jawabnya, sudah seperti mentor saja pikirku. Nyuruh-nyurh presentasi rencana.

“Ya, nanti sambil makan ice cream tempat Mas Tarjo ya” aku mengedipkan sebelah mata ku.

Mumpung weekend jadi apa salahnya melupakan tugas sejenak. Tentu saja dia setuju.

Amini pecinta ice cream sejak dalam kandungan.

Berang-Berang Pengabdi CilorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang