Empat : Kecupan?

16 6 4
                                    

“Eh, tangan saya kok ditarik-tarik gini sih” ujar ku seraya menatap punggung Angga.

Dia bahkan menggenggam erat tangan ku sembari menautkan jari jemarinya.

Sepertinya Angga sengaja menulikan pendengarannya. Ku hentakkan cukup keras genggaman tangan ini, namun tak terlepas bahkan semakin menguat.

Ini gila pikirku.

Angga menoleh tanpa mengentikan langkahnya “Seharusnya kamu bersyukur bisa gandengan sama saya, banyak loh cewek-cewek yang ngantri biar bisa jalan bareng saya” benar-benar memuakkan pernyataan itu.

“Saya nggak termasuk pengemar kamu, jadi tolong lepasin tangan saya. Kalo nggak saya teriak nih” jawabku sebal.

Lagi-lagi tak dipedulikan.

“Saya tau kamu bahagia banget, tapi kalo mengekspresikannya dengan teriak-teriak energi mu bisa habis” kalimat yang diucapkan dengan suara datar dan nada bosan.

Apa-apaan dia, sungguh kata menyebalkan nggak bisa menggambarkan kekesalanku saat ini.

Dia berhenti dan membukakan pintu mobil, “Ayo masuk, ngga ada penolakan” ungkapnya datar sembari mendorong tubuh ku memasuki mobil.

Dasar pemaksa, kalau dia jadi presiden pasti sengsara rakyatnya soalnya otoriter sih. Nggak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Aku masih terus menggerutu.
“Ada masalah apa Diandra? Jangan cemberut gitu. Laprak masih bisa dikerjain kok. Sekarang  kita refreshing dulu”. ujarnya sembari mencubit pipi kanan ku.

“Apaan sih, jangan pegang-pegang deh”. Aku menepis tangannya kasar.

Masih dengan emosi yang meledak-ledak tentunya tak kan mempan berbicara dengan Angga yang ada aku hanya akan diabaikan kembali.

Aku mengatur nafas mencoba menenangkan diri.

Lampu merah menghentikan laju mobil, aku tau dia menoleh lantas berujar “Kamu suka air kan? Nanti kita main air sepuasnya” disertai senyuman menawan yang menampakkan dua lesung pipi teramat dalam.

Setiap wanita akan menjerit histeris menyaksikannya, kecuali aku.

Kebencianku teramat dalam padanya, sebuah senyuman tak akan mempan untuk ku.

“Sok tau” ucapku datar.

“Saya sudah meminta izin terhadap om dan tante untuk mengajak kamu jalan-jalan, jadi jangan khawatir. Cukup rileks dan tenangkan pikiranmu”. Ucapnya dengan tetap fokus mengendarai.

“Kamu lupa minta izin ke saya? By the way yang kamu ajak jalan bukan orang tua saya!!” sepertinya sudah ada tanduk di kepalaku, sangking keselnya sama Angga.

“Saya nggak perlu izin sama tunangan sendiri kan? Sudah pasti kamu setuju” sembari menoleh dan tersenyum bangga.

Diandra hampir memutar bola mata mendengar jawabannya. Di bersikap seolah-olah berkuasa atas diriku.

Diandra lantas mengedik “Saya nggak pernah tunangan sama kamu, asal kamu tau” Diandra sangat membenci keputusan kedua orang tuanya yang membuatnya berada di kondisi rumit ini dan mengapa waktu berjalan begitu lamban.

Diandra sangat ingin melalui hari ini tanpa Angga.

Angga menggeleng-geleng prihatin. Bagaimana mungkin gadis ini melupakan kejadian 3 bulan silam saat keluarga Bagaskara dan Anwar Salim melangsungkan pertunangan antara Diandra dan Angga.

“Serius lupa atau nggak bisa menerima kenyataan kalau sebenernya kamu sudah menjadi tunangan saya?” lagi-lagi Angga bertanya dengan nada skeptis dan bosan.

Diandra mengibas. “Saya nggak akan mau bertunangan dengan lelaki gay, jadi tunggu saja proses pembatalannya”.

Dia menoleh saat Angga menepikan mobil di pinggir jalan.

Nampak jelas sorot mata tajam dan penuh amarah terpancar darinya.

“Katakan sekali lagi” pinta Angga.

Tanpa gentar Diandra berucap “Kamu gay” tegas tanpa keraguan sedikitpun.

Tatapan Angga menajam rahangnya mengeras, sembari memajukan tubuh mendekati Diandra serta mengunci mata dan pergerakan Diandra.

Pelan namun pasti Angga berbisik pelan di telinganya. “Diandra Aleansyah, menurutmu apa yang akan saya lakukan di tempat sesepi ini dan hanya ada kita berdua?” dengan jarak sedekat ini tentu saja Diandra merasa gugup.

Diandra dapat merasakan nafas hangat yang menjalar di tengkuknya, Angga kembali mengubah posisinya tepat di depan Diandra, hidung yang saling menyentuh dan tatapan maut yang mengunci netra Diandra membuat detak jantung yang tak karuan bahkan kini wajahnya telah pucat pasi.

Angga kembali memajukan tubuhnya meniup halus wajah Diandra yang sontak membuatnya memejamkan mata.

“’Pengen banget saya cium, hemm?” kalimat pendek yang membuat Diandra membuka matanya, pipinya telah semerah udang rebus sekarang.

Malu bercampur amarah.

Dan seketika Angga mengecup lembut kening Diandra disertai remasan halus di jemari Diandra seraya berujar “Jangan ngomong gitu lagi, atau saya bisa ngebuat kamu jadi seorang ibu kalau memang kamu nggak sabar” Diandra mengerjap mendengar ucapan Angga.

Kakinya kaku seketika jika saja dia sedang berdiri dipastikan jatuh terduduk saking lemasnya.

Kata-kata menang mengandung mantra yang terhebat, mampu menyihir tanpa paksaan.

Angga menarik mundur tubuhnya seraya tersenyum manis serta mengacak pelan puncak kepala Diandra. Kemudian melanjutkan perjalanan yang tertunda.

Sementara jantung Diandra tak dapat lagi dikondidikan lagi berdegup kencang tanpa bisa dikontrol rasanya lebih baik dia dilemparkan ke Mars saja dibandingkan menanggung malu seperti sekarang.
 

Berang-Berang Pengabdi CilorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang