Kelima :

8 4 0
                                    

Mau tidak mau Diandra teringat akan kejadian beberapa bulan lalu.

Saat itu dia terkejut bukan main karena ayahnya menyuruhnya bertunangan dengan Angga, anak sahabat karibnya.

Benar, menyuruhnya bukan menanyakan kesediaan Diandra mau terlibat hubungan serius atau tidak. Ironisnya, Ayahnya tidak menerima penolakan.


Diandra tidak bisa menolak, tetapi dia tidak sungguh-sungguh mau menjalin hubungan dengan Angga.

Memiliki seorang kekasih tidaklah masuk daftar hidupnya setidaknya untuk 5 tahun kedepannyaa, apalagi bertunangan dan menikah.

“Butuh berapa lama sih ibu dan ayah yakin kalau aku bisa jaga diri?” Diandra bertanya iba sambil mengunyah makanannya yang tinggal setengah piring.

“Ibu dan ayah yakin banget loh kalau kakak bisa jaga diri meskipun jauh di pelupuk mata, namun alangkah lebih baik jika hubungan mu dan Angga diresmikan. Cepat ataupun lambat kalian akan segera menikah nak.” Amanda, ibunya yang duduk persis di depannya menjawab lembut.

“Ayah yakin dia lelaki yang tepat buat ku?” Diandra menatap pasrah.

“Aku yang akan menikah dan menjalani hidup dengannya namun aku bahkan tak mengenalnya.”

“Ayah menjodohkan mu dengan pria terbaik tentunya, jangan khawatir kamu akan mengenalnya sedikit demi sedikit” singkat, padat dan jelas.

Diandra mendesah panjang ingatan itu kembali bergelayut dipikirannya.

Membayangkan hidupnya tak kan pernah bebas meskipun jauh dari keluarga tentu saja ada Angga yang akan mengawasinya, bahkan saat praktikum pun harus melihatnya.

Tentu saja membosankan.

***
 
“Sudah sampai, ayo turun” ucapan Angga membawa Diandra kembali kesadarannya.

Diandra langsung cemberut “Dimana?” sembari membuka pintu mobil dan menghampiri Angga yang tengah sibuk menyiapkan beberapa peralatan.

Angga menyerahkan dua paper bags “Perlengkapan ganti yang akan sangat kamu butuhkan, kita akan susur sungai sejauh 2 kilometer” dan setelahnya berjalan mendahului Diandra.

Diandra menghembuskan napas kesal “Saya nggak mau ikut, titik. Kamu nggak berhak memaksa saya. Kamu bukan siapa-siapa.”

Kenapa dia harus menuruti kemauan Angga, meskipun susur sungai adalah hal yang menyenangkan tetapi jika dilakukan bersama Angga pasti akan membosankan.

Lebih baik dia pulang dan tidur seharian di kamar.

Angga menggeleng-geleng sembari menghampiri Diandra “Ayo, saya sudah siapkan semuanya. Jangan paksa saya berbuat menyebalkan ke kamu” ditariknya lembut siku Diandra berjalan menuju lokasi susur sungai.

Cekalan tangan yang menguat menandakan Angga tak ingin dibantah sementara Diandra bukanlah gadis penurut yang baik, hentakan demi hentakan dilakukan bahkan Diandra menancapkan kuku-kuku tajamnya ke tangan Angga.

Dia tak ingin mengadu urat leher dengan Angga di depan banyak orang.

Cekalan Angga mengendur dan berganti dengan rengkuhan di pinggang Diandra, Dia menunduk dan berbisik pelan di telinga Diandra “Main cakar-cakarannya nanti saja ya kalau sudah sah” sambil tersenyum kalem menggoda.

Diandra langsung mendelik “Sialan”

Sudah ada dua pemandu yang menunggu Angga “Selamat datang di Lava Bantal, Wisata Geo Tubing Mas Angga dan Mbak Diandra, Saya Husain dan ini Mas Nanang yang akan memandu susur sungai nanti” sapa pak Husain.

Angga mengangguk dan tersenyum ramah kepada keduanya, disusul anggukan hangat dari Diandra.
Dia harus terlihat sopan dan beretika tentunya.

Semua teknis persiapan dan perlengkapan susur sungai telah dijelaskan, tentunya menjaga keselamatan sangat penting sehingga tak ada pilihan selain mendengarkan dengan seksama.

Diandra akan sangat antusias jika saja bukan Angga teman bermainnya sekarang. Setidaknya dia tidak boleh terlihat bahagia sekarang, Angga bisa besar kepala.

Angga sudah memakai pelampung dan pelindung kapala “Saya bantu” ujarnya disusul gerakan tangan memakaikan pelindung kepala ke Diandra.

“Pelampungnya sudah terpakai dengan benar? Kamu merasa nyaman memakainya?” pertanyaan lanjutan yang seolah menunjukkan betapa peduli dan perhatiannya Angga kepada Diandra.

Diandra mengarahkan bola mata ke atas “Saya bukan anak playgroup yang nggak tau cara memakai pelampung” sedikit kasar memang, tapi Diandra selalu menjadi gadis pemarah jika berdekatan dengan Angga.

Angga mengendik mengabaikan ucapan Diandra “Bagaimana bisa kamu nampak lebih menggemaskan jika sedang marah?” wajah datar dan tatapan menyebalkan itu membuat Diandra makin kesal.

“Tapi kecantikan mu bertambah 180 derajat jika sedang tersenyum dan saya suka senyuman kamu”.

Diandra memutar bola mata kesal “Ampun bang jago, hamba mual”.

Berang-Berang Pengabdi CilorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang